Rabu, 11 April 2012

Sejarah Perang Dingin

Sejarah Perang Dingin

Sejarah Perang Dingin – Perang Dingin (Cold War) adalah ketegangan yang secara politis tampak saling bermusuhan karena adanya persaingan kepentingan. Perang Dingin dimulai setelahberakhirnya Perang Dunia II sejak pembagian Jerman menjadi 2 wilayah, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur. Pembagian Jerman menjadi 2 diikuti dengan pembagian kota Berlin menjadi Berlin Barat yang dikuasai oleh Amerika Serikat, Inggris dan Perancis sedangkan Berlin Timur dikusai oleh Uni Soviet tepatnya saat terjadi Konfrensi Yalta (Februari 1945).
Dalam waktu singkat (1945-1948) Uni Soviet berhasil membentuk pemerintahan komunis di Bulgaria, Rumania, Hongaria, Polandia, dan Chekoslowakia. Karena perkembangan pengaruh Uni Soviet sangat cepat dan pertumbuhannya pesat maka Amerika merasa perlu membendung berkembangnya gerakan komunis. Hingga akhirnya Amerika menyusun strategi politik Containment Policy yang bertujuan mencegah berkembangnya pengaruh suatu negara atau suatu sistem politik dari pihak lawan. Strategi politik tersebut dikembangkan melalui pemberian bantuan ekonomi dan militer seperti Marshall Plan dan Doctrine Truman yaitu bantuan berupa keuangan, militer, dan penasehat militer kepada Yunani dan Turki guna menghadapi gerilyawan komunis. Tujuannya untuk mempertahankan Yunani dan Turki dari peneterasi komunis dan menghambat jalur Uni Soviet menuju ke selatan yang akan mengancam negara-negara Barat. Sebab jika salah satu negara jatuh maka negara tetangga lainnya juga akan jatuh sehingga semua negara akan jatuh ke dalam pengaruh komunis. Uni Soviet berusaha menyaingi dengan membuatMolotov Plan dengan tujuan untuk menata kembali perekonomian negara-negara Eropa Timur dan badan kerja sama ekonomi Comicon (Cominteren Economic). Konflik ideologi tersebut berkembang sampai di Asia.
Selama berlangsungnya Perang Dingin, situasi dan kondisi dunia diwarnai oleh kegiatan sebagai berikut.
1) Perebutan Hegemoni/kekuasaan
  1. Kalahnya Jepang dari Sekutu menyebabkan seluruh wilayah Manchuria dan Korea diduduki Uni Soviet hingga berdampak semakin kuatnya Uni Soviet di daratan Cina serta wilayah Korea.
  2. Berdasarkan Konferensi Yalta maka semenanjung Korea dibagi 2 yaitu Utara dibawah kekuasaan Uni Soviet sehingga Kim Il Sung menjalankan pemerintahan atas dasar pemikiran komunis. Sementara di sebelah selatan, Amerika memilih Rhee Syngman sebagai orang yang menjalankan pemerintahan berdasarkan dasar-dasar demokrasi. Karena perbedaan ideologi ini maka menyebabkan munculnyaperang saudara di Semenanjung Korea pada 25 Juni 1950 dan inilah titik balik dari Perang Dingin.
  3. Posisi komunisme di Cina semakin kuat karena bantuan senjata dari Uni Soviet yang berasal dari Jepang. Kuatnya komunisme di Cina menyebabkan berkembangnya komunisme di Asia Tenggara. Cina berusaha menghalangi propaganda imperialisme yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris. Cina semakin mengembangkan komunismenya adapun alasannya adalah karena adanya keinginan untuk mengembalikan daerah kekuasaan Cina di zaman kuno meliputi Korea, Funan, Birma, India, bahkan lebih jauh termasuk daerah di Asia Tenggara. Selain alasan historis juga adanya alasan geografis dan kekayaan alam di Asia Tenggara guna memperkuat posisi ekonominya dalam dunia internasional. Karena alasan tersebutlah maka Cina semakin melibatkan diri di Asia Tenggara.
  4. Apa yang dilakukan Cina dan Uni Soviet semakin mengancam kehidupan di Asia Tenggara. Hal ini menjadi masalah yang cukup serius bagi Amerika Serikat sehingga membuat Amerika merasa perlu membantu negara-negara Asia Tenggara. Amerika akhirnya memutuskan membantu Perancis yang saat itu sedang berperang melawan Vietnam (dibantu Uni Soviet dan RRC) dengan harapan Vietnam tidak jatuh ke tangan komunis. Tetapi ternyata Vietnam menang dan secara otomatis Vietnam berada di bawah kekuasaan komunis.
  5. Jatuhnya Vietnam ke dalam kekuasaan komunis memungkinkan negara-negara di Asia Tenggara jatuh ke kuasaan komunis. Perjanjian Jenewa merupakan upaya untuk mengakhiri konflik antara kaum komunis dan non komunis yang membagiVietnam menjadi 2 yaitu Vietnam Utara dan Selatan. Tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil dan tidak mendatangkan kepuasan untuk mengakhiri konflik yang saling bertentangan di Vietnam. Pertentangan tersebut menyebabkan keterlibatan campur tangan pihak asing. Vietnam Utara sebagai negara komunis mendapat bantuan dan pengaruh dari Cina dan Uni Soviet sementara Vietnam Selatan sebagai negara demokrasi mendapat bantuan dari Amerika Serikat.
  6. Setelah bertahun-tahun diperjuangkan akhirnya tahun 1976 Vietnam dapat dipersatukan di bawah kekuasaan kaum komunis. Vietnam membentuk persatuan Indocina yang diberi nama Federasi Indocina dibawah kekuasaan komunis yang menjadi ancaman militer dan ideologi bagi negara-negara Asia Tenggara.
  7. Di Asia Tenggara terjadi rivalitas antarkomunisme tampak dengan adanya konflik antara Vietnam dan Kamboja mengenai masalah perbatasan. Dalam masalah ini Kamboja(Pol Pot) menolak usul penyelesaian konflik perbatasan melalui forum PBB. Di balik masalah Kamboja-Uni Soviet tidak lepas dari masalah politik yaitu konflik Sino-Soviet. Di belakang Kamboja berdiri Cina dan di pihak Vietnam terdapat Uni Soviet. Konflik Vietnam dan Kamboja adalah pertandingan dari jauh antara Cina dan Uni Soviet di Asia Tenggara sementara Vietnam dan Kamboja menjadi pion-pion yang bertempur di medan perang.
  8. Pertentangan ideologi antara negara Amerika Serikat dan Uni Soviet terjadi juga di Amerika dimana Presiden Kuba Fidel Castro mendirikan negara komunis di Kuba. Tindakan ini tentu saja mendapat reaksi keras dari Amerika Serikat dengan upaya mensponsori invasi gerakan anti komunis Kuba namun mengalami kegagalan. Titik ketegangan perang dingin ini terjadi di Teluk Babi pada tahun 1961.
  9. Negara di kawasan Amerika Tengah lainnya seperti Nikaragua juga dikuasai oleh kaum komunis. Dimana Nikaragua sejak 1970 sampai 1990 dikuasai oleh kelompok Gerilyawan komunis Sandinista (Front Pembebasan Nasional Sandinista).
  10. Di Afrika sayap kiri militer telah menguasai pemerintahan di Ethiopia antara tahun 1974-1991. Sistem pemerintahan sosialis membuat negara tersebut bersekutu dengan Uni Soviet. Di Angola dan Mozambik sejak 1975-1990 kelompok gerilya Marxis-Leninis menguasai pemerintahan.
  11. Di Afganistan (1978) pemerintahan berhaluan komunis pimpinan Noor Mohammad Tariki berhasil membangun Daoud Khan melalui kudeta berdarah. Untuk menyelamatkan rezim komunis di Afganistan yang saat itu mendapat perlawanan dari kelompok pimpinan Hafizullah Amin maka Uni Soviet pada Desember 1979 melakukan invasi militer ke Afganistan. Selain itu guna mengimbangi kekuatan bersenjata Amerika Serikat di Asia Barat Daya dan pengaruh liberalismenya. Tetapi invasi ini mendapat perlawanan dari kelompok Mujahidin yang dipimpin Mohammad Najibullah yang akhirnya berhasil memukul mundur pasukan Uni Soviet dan pada 1989 pasukan Soviet ditarik mundur dari Afganistan.
Selama Perang Dingin berlangsung kedua negara adikuasa tidak pernah terlibat secara langsung dalam suatu konflik (peperangan) secara terbuka. Mereka selalu berada di belakang negara-negara yang sedang bersengketa. Mereka memberikan bantuan persenjataan dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat negara-negara yang sedang bersengketa.
2) Sistem Aliansi
Ketika perang dingin memuncak maka setiap negara yang bertentangan berusaha memperkuat dirinya dengan bergabung dalam satu aliansi. Bentuk sistem aliansi baik yang dilakukan blok Timur maupun blok Barat adalah sebagai berikut.
  1. Pembentukan Cominform (The Communist Information Bureau) pada tahun 1947. Cominform adalah wadah kerja sama partai-partai komunis Eropa yang berpusat di Beograd, Yugoslavia.
  2. Pembentukan NATO (North Athlantic Traty Organization) 4 April 1949. Negara yang menjadi anggotanya yaitu Inggris, Irlandia, Islandia, Norwegia, Denmark, Belgia, Belanda, Luxemburg, Perancis, Portugal, Kanada, dan Amerika Serikat. Tujuannya untuk membendung komunis mulai dari Eropa Utara sampai Turki dan Yunani.
  3. Pembentukan Pakta Warsawa pada 1955 dengan negara Jerman Timur, Cekoslovakia, Hongaria, Bulgaria, Polandia, Rumania, dan Albania. Pakta Warsawa merupakan kerjasama pertahanan dan keamanan negara-negara komunis.
  4. Perjanjian antara RRC dan Uni Soviet tahun 1950 mengenai kerja sama dianatara kedua negara guna menghadapi kemungkinan agresi Jepang.
  5. Pembentukan Pakta ANZUS (Australia, New Zealand, and United State), yaitu pakta pertahanan negara-negara Amerika Serikat, Australia,dan Selandia Baru pada tahun 1951.
  6. Pembentukan SEATO (South East Asia Treaty Organization) pada tahun 1954. SEATO merupakan kerjasama pertahanan antara negara-negara Asia Tenggara dengan pihak Barat. Dengan anggotanya antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Filipina, Singapura, dan Selandia Baru.
3) Kegiatan Spionase
Perebutan hegemoni selama perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap berbagai kawasan baik di Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika selalu didukung oleh kegiatan agen intelijen yang mereka miliki.
Kegiatan Spionase (mata-mata) tercermin dari tindakan yang dilakukan oleh agen spionase kedua belah pihak yaitu antara KGB dan CIA. KGB (Komitet Gusudarstvennoy Bezopasnosti) merupakan dinas intelegen sipil atau dinas rahasia Uni Soviet sedangkan CIA (Central Intelligence Agency) yang merupakan dinas rahasia Amerika Serikat yang bertugas untuk mencari keterangan tentang negara-negara asing tertentu.
KGB dan CIA selalu berusaha untuk memperoleh informasi rahasia mengenai segala hal yang menyangkut kedua belah pihak atau negara-negara yang berada di bawah pengaruh kedua belah pihak. Mereka juga membantu terciptanya berbagai ketegangan di dunia. Misalnya, CIA turut membantu orang-orang Kuba di perantauan untuk melakukan serangan ke Kuba tahun 1961 yang disebut Insiden Teluk Babi. Di pihak lain, Uni Soviet memberikan dukungan kepada Fidel Castro (Presiden Kuba) dalam menghadapi invasi tersebut.
4. Perlombaan Teknologi Persenjataan dan Ruang Angkasa
Perang dingin antara dua negara adidaya ditandai oleh perimbangan persenjataan nuklir dan personil militer. Sehingga kegiatan ini disebut sebagai politik Balance of Power. Unjuk kekuatan kedua negara adidaya tersebut diikuti perlombaan dalam bidang teknologi militer dan ruang angkasa dimana keduanya saling unjuk kecanggihan.
Jika muncul isu sensitif dapat saja membawa kedua belah pihak pada isu global yang menyebabkan munculnya perang secara terbuka. Perang dingin juga dapat menimbulkan perlombaan senjata antara pihak Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perlombaan senjata yang dilakukan kedua negara tersebut berupa perlombaan senjata nuklir. Perlombaan senjata nuklir ini dikhawatirkan akan menyebabkan meletusnya perang nuklir yang dasyat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia sebab jangkauan senjata nuklir sangatlah luas bisa menjangkau antarnegara dan antarbenua.
Kedua blok membangun pusat-pusat tombol peluncuran senjata nuklir berbagai negara yang berada di bawah pengaruhnya. Untuk mengurangi meningkatnya perlombaan senjata nuklir pada kedua belah pihak maka PBB membentuk Atomic Energy Commission yang bertujuan mencari jalan dan cara untuk mengembangkan penggunaan tenaga atom untuk maksud damai serta mencegah penggunaannya untuk tujuan perang. Pada akhir Desember 1946 komisi setuju untuk mengadakan pengawasan dan pengaturan ketat guna mencegah produksi senjata-senjata atom yang dilakukan secara diam-diam. Tetapi Uni Soviet keberatan dan mengemukakan usul pengurangan senjata secara menyeluruh. Sementara AS tidak setuju, hingga akhirnya US memveto usul AS dalam sidang Dewan keamanan. Pada tahun 1949, US mengadakan uji coba peledakan bom atomnya yang pertama. Yang ditanggapi dengan pembuatan bom hidrogen oleh AS yang diuji pada November 1952, meskipun begitu ternyata US pun sudah dapat membuat bom hidrogen sendiri.
Hingga tahun 1983, perbandingan kekuatan senjata nuklir Uni Soviet menunjukkan posisi yang unggul dibanding dengan kekuatan Amerika Serikat.[ps]

Penelitian Asteroid dekat Bumi.

Penelitian Asteroid dekat Bumi.
Sejak lama para ahli astronomi mencermati keberadaan asteroid yang merupakan pecahan materi purba sistem Tata Surya. Asteroid adalah benda langit yang komposisinya terdiri atas batuan atau logam dan mengorbit matahari, namun terlampau kecil untuk disebut planet. Asteroid dijuluki planet mini dan diameternya biasanya kurang dari 1000 kilometer. Sebagian besar berada di sabuk asteroid yang membentang diantara planet Mars sampai ke planet Yupiter sejarak dua sampai empat unit astronomi dari Matahari. Satu unit astronomi setara dengan jarak 150 juta kilometer. Sabuk asteroid ini juga mencakup Bumi kita, karena letaknya berada di antara Mars dan Yupiter. Asteroid dekat Bumi merupakan obyek yang paling sering dijadikan penelitian. Terobosan ilmiah terpenting dicapai tanggal 14 Februari lalu, ketika wahana penelitian ruang angkasa Shoemaker, berhasil mendarat di permukaan sebuah asteroid kecil yang diberi nama Eros. Asteroid ini bentuknya seperti kentang raksasa, panjangnya sekitar 33 kilometer, dan lebar serta tebalnya 13 kilometer, mengorbit pada jarak 316 juta kilometer dari Bumi.
Wahana penelitian ruang angkasa Shoemaker sebetulnya dirancang untuk mengawasi asteroid lainnya yang diberi nama Mathilde. Diluncurkan pada tanggal 17 Februari 1996, wahana penelitian Shoemaker melakukan orbit di asteroid Mathilde sekitar bulan Juni tahun 1998. Misi penelitian angkasa luar yang diberi nama "pertemuan dengan asteroid dekat Bumi"-NEAR itu kemudian diarahkan ke asteroid bernomor 433, yakni Eros. Bonus ilmiah ternyata menunggu di asteroid yang ukurannya relatif besar ini. Eros memberikan data sepuluh kali lebih banyak ketimbang yang diduga para ahli. Dr. Robert Farquhar, direktur laboratorium fisika terapan di universitas John Hopkins yang menjadi pimpinan misi NEAR mengatakan, sebelumnya misi penelitian itu tidak direncanakan mendarat di permukaan Eros. Namun setelah penelitian selama beberapa tahun, dengan data lebih lengkap dari perkiraan semula, disepakati misi yang riskan tsb. Penetapan tanggal 14 Februari sebagai hari pendaratan, adalah hasil perhitungan matematis dari posisi Eros dan wahana penelitian Shoemaker. Sebetulnya tidak ada risiko kerugian mendaratkan Shoemaker di permukaan Eros. Sebab dalam waktu tidak lama lagi, Shoemaker akan kehabisan energinya dan akan hilang di luar angkasa, menjadi asteroid baru buatan manusia. Daripada hilang begitu saja, para ahli memutuskan mendaratkannya di permukaan Eros. Rupanya perhitungan para ahli kali ini juga keliru. Mereka menyangka wahana penelitian Shoemaker akan hancur berkeping-keping menabrak permukaan Eros. Nyatanya Shoemaker mendarat dengan mulus.
Sejauh ini sedikitnya 160.000 gambar sudah dikirimkan Shoemaker ke pusat pengendali di Bumi. Dengan pendaratan di Eros, para ahli bahkan memiliki gambar rinci dari permukaan asteroid. Pemotretan jarak dekat dari ketinggian hanya beberapa ratus meter sebelum mendarat, menghasilkan gambaran resolusi tinggi. Dengan menganalisis gambar-gambar yang kualitasnya prima, diharapkan sifat asteroid dapat diketahui lebih banyak lagi. Eros yang merupakan asteroid logam, menunjukan adanya kawah-kawah kecil serta batuan yang kelihatannya mengalami erosi. Data baru itu tentu saja amat berharga bagi para ahli. Sebab sejauh ini diduga tidak ada erosi di permukaan asteroid, karena tidak adanya atmosfir maupun gaya tarik. Nyatanya di Eros terlihat adanya jejak erosi. Diduga badai matahari yang memancarkan debu kosmiklah yang menggerus permukaan asteroid. Kawah-kawah kecil diduga akibat tabrakan dengan benda langit lainnya. Pengamatan dari permukaan sebuah asteroid diharapkan memberikan data lebih akurat menyangkut komposisi fisik dan geologinya. Selain itu akan dikethaui lebih jelas hubungan antara asteroid, komet dan meteorit. Dan yang paling mendasar adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana dan dalam kondisi seperti apa sebuah planet terbentuk dan berkembang. Dalam beberapa hari ini ribuan gambar baru sudah dikirimkan wahana penelitian Shoemaker ke Bumi. Para ahli memang tidak dapat meramalkan, sampai kapan mereka masih dapat menjaga kontak dengan Shoemaker. Namun disebutkan, misi penelitian Eros menggunakan wahana Shoemaker meningkatkan secara dramatis pengetahuan mengenai asteroid. Data yang dikirimkan merupakan landasan berharga bagi misi sejenis di masa depan. Sasarannya tentu saja untuk mengetahui asal-usul alam semesta. (muj)

FASISME MENURUT KAUM KOMUNIS

Kaum liberal dan bahkan kebanyakan dari mereka yang menganggap dirinya Marxis bersalah atas penggunaan kata ‘fasis’ secara berlebihan seperti yang terjadi hari-hari ini. Mereka mengumbarnya sebagai label atau kutukan politis terhadap khususnya figur-figur sayap kanan yang mereka benci, atau terhadap kaum reaksioner secara umum.
Sejak Perang Dunia Kedua, label fasis telah dilekatkan pada figur-figur dan gerakan-gerakan seperti Gerald L. K. Smith, Senator Joseph McCarthy, Senator Eastland, Barry Goldwater, Minutemen, John Birch Society, Richard Nixon, Ronald Reagan, dan George Wallace.
Apakah mereka semuanya betul-betul fasis, atau beberapa saja? Jika hanya beberapa saja, lalu bagaimana orang bisa membedakannya?
Bebasnya penggunaan istilah fasis menunjukkan kekaburan makna dari istilah itu sendiri. Saat diminta untuk mendefinisikan fasisme, kaum liberal menjawab dengan istilah-istilah seperti kediktatoran, nerosis massa, anti-Semitisme, kekuatan propaganda jahat, efek hipnotik seorang orator jenius-sinting pada massa dan seterusnya. Impresionisme dan kebingungan kaum liberal bukanlah hal yang terlalu mengherankan. Berbeda dengan Marxisme yang mempunyai keunggulan untuk menganalisa dan membedakan fenomena sosial dan politik. Bahwasanya banyak dari mereka yang mengaku dirinya Marxis tak bisa mendefinisikan fasisme lebih baik dari kaum liberal bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Entah mereka sadar atau tidak, kebanyakan dari warisan tradisi intelektual mereka bersumber dari kubu sosial demokratik (sosialis reformis) dan gerakan-gerakan Stalinis, yang mendominasi kaum kiri di era 1930-an, yaitu pada saat fasisme meraih kemenangan demi kemenangan yang gemilang. Gerakan-gerakan ini tidak hanya mengizinkan Nazisme merebut kekuasaan di Jerman tanpa adanya satupun perlawanan yang berarti, namun juga gagal memahami sifat dan dinamika fasisme and cara untuk melawannya. Setelah kemenangan fasisme, mereka memiliki banyak hal yang harus disembunyikan dan maka dari itu mereka menarik diri dari usaha untuk membuat analisa Marxis yang, paling tidak, bisa mendidik generasi-generasi selanjutnya.
Akan tetapi, ada sebuah analisa Marxis tentang fasisme. Analisa ini dibuat oleh Leon Trotsky, bukan sesudah kehancuran Fasisme, namun dalam masa kejayaannya. Ini adalah salah satu sumbangsih Trotsky yang terbesar kepada Marxisme. Dia memulai pekerjaan ini sesudah kemenangan Mussolini di Italia pada tahun 1922 dan mempergencar usaha itu di tahun-tahun sebelum kemenangan Hitler di Jerman pada tahun 1933.
Dalam usahanya untuk membangkitkan Partai Komunis Jerman dan Komunis Internasional (Komintern) dari ancaman fatal dan menciptakan sebuah Front-persatuan melawan Nazisme, Trotsky membuat kritik komprehensif terhadap kebijakan-kebijakan kaum sosial demokrat dan partai-partai Stalinis. Karya ini merupakan peringatan atas posisi bunuh diri, tidak-efektif dan keliru yang dapat diambil oleh organisasi-organisasi buruh dalam menghadapi fasisme, karena posisi partai-partai di Jerman yang cuma berkisar dari oportunisme dan pengkhianatan dari pihak kanan (sosial demokratik) sampai kemandulan dan pengkhianatan ultra-kiri (Stalinis).
Gerakan Komunis masih dalam kondisi kemabukan ultra-kirinya (apa yang disebut sebagai Periode Ketiga) saat gerakan fasis mulai berkembang dengan pesat bak bola salju yang menggelinding. Bagi kaum Stalinis, setiap partai kapitalis secara otomotis adalah ‘fasis’. Yang lebih parah dari tindakan yang mendisorientasi kelas pekerja semacam ini adalah pernyataan terkenal dari Stalin bahwa fasisme dan sosial demokrasi adalah "kembar" dan bukan saling bertentangan. Atas dasar itu, kaum sosialis disebut sebagai ‘sosial fasis’ and dianggap sebagai musuh utama. Sebagai akibat dari langkah ini, pembentukan front persatuan dengan organisasi-organisasi sosial-fasis menjadi tidak dimungkinkan lagi, dan mereka yang menuntut front-front semacam itu, seperti halnya Trotsky, dituduh juga sebagai sosial fasis dan diperlakukan sebagaimana layaknya seorang sosial fasis.
Begitu jauhnya garis kaum Stalinis dari kenyataan bisa dilihat dari penerjemahan konsep ini dalam konteks Amerika. Pada pemilu tahun 1932, kaum Stalinis Amerika mengutuk Franklin Roosevelt sebagai kandidat fasis dan Norman Thomas sebagai kandidat sosial fasis. Apa yang konyol dalam konteks politik Amerika Serikat ini menjadi hal yang tragis dalam kasus Jerman dan Austria.
(Baru-baru ini [1969], istilah sosial fasisme mulai muncul lagi dalam artikel-artikel anggota gerakan kiri baru. Apakah mereka yang menggunakan istilah itu berfikir bahwa merekalah yang menciptakannya? Atau, jika mereka sadar akan sejarah, apakah mereka acuh tak acuh terhadap konotasi istilah tersebut?)
Setelah Nazi merebut kekuasaan, kaum Stalinis menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa garis politik mereka 100 persen benar, bahwa Hitler hanya dapat bertahan dalam beberapa bulan saja, dan bahwa Soviet Jerman akan bangkit sesudahnya. Batas waktu untuk keajaiban ini ternyata molor dari tiga, enam, sampai sembilan bulan, dan selanjutnya bualan-bualan itu menghilang dalam kebisuan. Tingkat kekalahan yang diderita kelas pekerja, yang merupakan sifat khusus dari fasisme, yang membedakannya dari rezim atau kediktatoran reaksioner lainnya, menjadi nyata untuk semua orang, dan ancaman terhadap Uni Soviet atau kehadiran imperialisme Jerman yang dipersenjatai kembali mulai menjadi nyata. Hal ini membawa perubahan dalam garis politik Moskow di tahun 1935 dan partai-partai Komunis di seluruh penjuru dunia berzigzag jauh ke kanan, bahkan ke posisi kanan kubu sosial demokrat. Ini adalah posisi mereka di hadapan bahaya fasis yang menyebar di Prancis dan Jerman.
Kehancuran militer fasisme Jerman dan Italia dalam Perang Dunia Kedua meyakinkan mayoritas orang bahwa fasisme telah dimusnahkan untuk selamanya dan didiskreditkan sampai titik di mana dia tak bisa menarik pengikut lagi. Peristiwa-peristiwa semenjak itu, khususnya kebangkitan kelompok dan tendensi fasis baru di hampir semua negara kapitalis, telah mementahkan harapan semacam itu. Ilusi bahwa Perang Dunia Kedua dilakukan untuk menjadikan dunia aman dari bahaya fasisme telah lenyap seperti ilusi sebelumnya bahwa Perang Dunia Pertama dilakukan untuk menjadikan dunia aman bagi demokrasi. Bibit fasisme merupakan karakter khusus di dalam kapitalisme; sebuah krisis dapat meningkatkannya ke level epidemik kecuali bila penanganan-penanganan yang drastis diterapkan atasnya.
Karena peringatan awal telah datang, kami menawarkan kompilasi baru ini — sebuah kumpulan kecil tulisan terpilih dari Trotsky mengenai fasisme – sebagai sebuah sumbangan bagi gudang senjata anti fasis.

Fasisme - Apakah itu?

Potongan-potongan surat Trotsky kepada seorang kamerad Inggris, 15 November 1931; dimuat di The Militant, 16 Januari.
Apakah fasisme itu? Istilah ini berasal dari Italia. Apakah semua bentuk kediktatoran kontra-revolusioner itu bisa disebut fasis? (Katakanlah sebelum kedatangan fasisme di Italia).
Kediktatoran Primo de Rivera di Spanyol, 1923-30, disebut sebagai kediktatoran kaum fasis oleh Komintern. Benarkah hal itu? Kami percaya bahwa pendapat itu salah.
Gerakan fasis di Italia adalah sebuah gerakan spontanitas massa yang masif, dengan para pemimpin baru yang berasal dari rakyat biasa. Gerakan fasis Italia berasal dari gerakan plebian (catatan: plebian berarti berasal dari rakyat biasa), disetir dan dibiayai oleh kekuatan borjuis besar. Fasisme berkembang dari kaum borjuis kecil, kaum lumpenproletar, bahkan pada tingkatan tertentu dari massa proletar; Mussolini, yang dulunya seorang sosialis, adalah seorang yang "tumbuh dan besar sendiri" dari gerakan ini.
Di lain pihak, Primo de Rivera adalah seorang aristokrat. Dia pernah menempati posisi birokrat dan militer tinggi dan pernah juga menjadi gubernur Catalonia. Dia meraih kesuksesannya dalam perebutan kekuasaan dengan bantuan negara dan militer. Kediktaturan Spanyol dan Italia adalah dua bentuk kediktaturan yang benar-benar berbeda. Adalah penting untuk membedakan keduanya. Mussolini mengalami kesulitan dalam merekonsiliasi institusi-institusi militer lama dengan milisi fasis. Masalah ini tidak dialami oleh Primo de Rivera.
Gerakan fasisme di Jerman secara umum lebih mirip dengan gerakan yang terjadi di Italia. Gerakan tersebut adalah gerakan massa, yang pemimpinnya banyak menggunakan demagogi sosialis secara luar biasa. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan gerakan massa.
Basis asli (bagi fasisme) adalah borjuis kecil. Di Italia, mereka memiliki basis yang sangat luas - borjuis kecil perkotaan besar dan kecil, dan para petani. Di Jerman, serupa dengan di Italia, terdapat basis yang luas bagi fasisme...
Bisa dikatakan, dan ini benar di dalam beberapa hal, bahwa kelas menengah baru, fungsionaris negara, administrator swasta, dan sebagainya adalah basis dari fasisme di sana. Ini adalah pertanyaan baru yang harus dianalisa...
Dalam rangka memprediksi segala hal yang berhubungan dengan fasisme secara benar, adalah perlu untuk memiliki sebuah definisi tentang gerakan ini. Apakah fasisme itu? Apa saja yang menjadi dasar, bentuk, dan karakternya? Bagaimana dia akan berkembang? Semuanya perlu kita telaah dengan pendekatan Marxis dan ilmiah

Bagaimana Mussolini Meraih Kemenangannya

Diambil dari “Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman”, 1932
Saat sumber daya ‘normal’ militer dan polisi dalam kediktatoran borjuis, bersama dengan tabir parlementer mereka, sudah tak mampu lagi mempertahankan stabilitas masyarakat — keniscayaan rezim fasis telah tiba. Melalui agen fasis, kapitalisme menggerakkan massa borjuis kecil yang irasional dan kelompok-kelompok lumpenproletariat yang rendah dan terdemoralisasi – seluruh manusia yang telah digiring ke dalam kesengsaraan dan kemarahan oleh kapitalisme.
Dari fasisme, kaum borjuis menuntut sebuah pekerjaan yang menyeluruh; setelah selesai menggunakan perang sipil, kaum borjuis menuntut kedamaian untuk periode bertahun-tahun. Dan agen fasis, dengan menggunakan borjuis kecil sebagai alat penghancur, dengan menabrak semua halangan yang ada di jalannya, melakukan tugasnya dengan baik. Setelah fasisme menang, kapital finansial segera dan langsung memusatkan di tangannya semua organ dan institusi kekuasaan, eksekutif administratif, dan pendidikan negara; seluruh aparatus negara bersama dengan tentara, pemerintahan daerah, universitas-universitas, sekolah-sekolah, pers, serikat buruh, dan koperasi. Saat sebuah negara berubah menjadi fasis, bukan berarti hanya bentuk-bentuk dan metode-metode pemerintahan yang berubah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Mussolini — perubahan dalam lingkup ini pada akhirnya hanya berperan sangat kecil. Tapi yang pertama dan utama adalah dibinasakannya organisasi buruh; kaum proletar dihancurkan sampai tak berbentuk sama sekali; dan sebuah sistem administrasi diciptakan untuk menpenetrasi massa secara mendalam dan berfungsi untuk mengganggu kristalisasi independen kaum proletariat. Hal-hal tersebut adalah inti dari fasisme...

***

Fasisme Italia adalah hasil yang segera muncul dari pengkhianatan kaum reformis di saat kebangkitan kaum proletar Italia. Pada waktu (Perang Dunia Pertama) berakhir, terdapat tren naik dalam gerakan revolusioner Italia, dan pada bulan September 1920 gerakan tersebut berhasil melaksanakan penyitaan pabrik-pabrik dan industri-industri oleh para pekerja. Kediktaturan proletariat merupakan sebuah kenyataan pada saat itu; yang kurang saat itu adalah untuk mengorganisirnya dan mengambil darinya semua kesimpulan yang diperlukan. Kekuatan Sosial Demokrasi ternyata ketakutan dan loncat mundur. Setelah usahanya yang berani dan heroik, kaum proletar ditinggalkan begitu saja untuk menghadapi kekosongan. Terganggunya (terhentikannya) gerakan revolusioner ini dalam kenyataanya menjadi faktor yang terpenting di dalam perkembangan fasisme. Di bulan September, perkembangan revolusioner menjadi terhenti; dan bulan November menjadi saksi dari sebuah demonstrasi penting yang pertama dari kaum fasis (direbutnya Bologna).
[Catatan: kampanye kekerasan kaum fasis dimulai di Bologna pada tangggal 21 November 1920. Ketika anggota dewan dari kubu Sosial Demokratik, pemenang pemilihan daerah, muncul di balai kota untuk memperkenalkan walikota yang baru, mereka disambut dengan tembakan senapan yang membunuh 10 orang dan mencederai 100 lainnya. Kaum fasis menindak lanjutinya dengan "ekspedisi penghukuman" ke wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya yang merupakan daerah kubu "Liga Merah". "Skuadron Aksi" berseragam hitam dengan kendaraan yang disuplai oleh para tuan tanah besar mengambil alih desa-desa dengan serangan kilat, memukul dan membunuh petani-petani kiri dan pemimpin-pemimpin buruh, menghancurkan markas-markas organisasi radikal, dan meneror para penduduk. Didorong oleh kesuksesan mereka yang mudah, kaum fasis kemudian meluncurkan serangan dalam skala besar di kota-kota besar.]
Adalah benar bahwa kaum proletar, bahkan sesudah bencana September, masih mampu melaksanakan pertempuran defensif. Tapi kubu Sosial Demokrasi hanya peduli dengan satu hal: menarik para pekerja dari pertempuran dengan timbal balik konsesi. Kubu Sosial Demokrasi berharap bahwa sikap pasif kaum pekerja akan mengembalikan ‘opini publik’ kaum borjuis untuk melawan kaum fasis. Celakanya lagi, kaum reformis bahkan menggantungkan harapannya pada raja Victor Emmanuel. Sampai pada jam yang terakhir, mereka masih sekuat tenaga berusaha mencegah kaum pekerja untuk memerangi kelompok-kelompok Mussolini. Ini tidak menghasilkan apapun untuk mereka. Sang raja, bersama dengan lapisan atas borjuis, pindah ke pihak fasisme. Setelah menyadari pada momen terakhir bahwa kubu fasisme tak bisa dikontrol lagi, kubu Sosial Demokrat menyerukan kepada para pekerja untuk mengadakan mogok umum. Tapi pengumuman mereka menemui kegagalan. Kaum reformis sudah memlembabi bubuk mesiu ini terlalu lama karena takut bubuk mesiu ini akan meledak. Ketika mereka dengan tangan gemetar ingin membakar bubuk mesiu ini, bubuk tersebut tak mau terbakar.
Dua tahun sesudah kemunculan pertamanya, fasisme berkuasa penuh. Fasisme ini diuntungkan oleh fakta bahwa periode pertama dari kekuasannya ditandai dengan sebuah kondisi ekonomi yang positif, setelah masa depresi di tahun 1921-22. Kaum fasis menghancurkan massa proletar yang sedang mundur dengan mengerahkan massa borjuis kecil secara besar-besaran. Tapi hal tersebut tidaklah dicapai dengan sekali pukul. Bahkan sesudah dia meraih kekuasaan, Mussolini menjalankan pemerintahannya dengan hati-hati: karena belum adanya model pemerintahan fasis di masa itu. Selama dua tahun pertama, bahkan konstitusi tidak dirubah. Pemerintahan fasis mengambil bentuk karakter sebuah koalisi. Di tengah-tengah periode tersebut, kelompok-kelompok fasis sibuk bekerja dengan kayu pemukul, pisau, dan pistol. Hanya dengan demikian pemerintah fasis terbentuk secara perlahan-lahan, yang berarti pencekikan penuh bagi semua organisasi massa independen.
Mussolini mencapai semua itu dengan jalan membirokratiskan partai fasis. Setelah menggunakan kekuatan kaum borjuis kecil, fasisme mencekik mereka dengan cekikan negara borjuis. Mussolini tidak mungkin tidak melakukan hal tersebut, sebab kekecewaan dari massa yang dia sudah persatukan telah menjelma menjadi bahaya langsung yang paling besar didepannya. Berubah menjadi birokratis, fasisme hampir-hampir menyamai bentuk kediktaturan polisi dan militer. Fasisme tidak lagi memiliki dukungan sosial seperti sebelumnya. Bagian utama dari fasisme – borjuis kecil — telah tereduksi. Hanya kemandegan historis yang menyebabkan pemerintah fasis tetap mampu membuat kaum proletar dalam keadaan yang terpecah-pecah dan menyedihkan...
Dalam kasus Hitler, kaum sosial demokrasi Jerman secara politik tak mampu menambahkan apapun: yang dilakukannya hanya mengulang secara menjemukan apa yang telah dilakukan kaum reformis Italia dengan temperamen yang lebih besar. Kaum reformis Italia menjabarkan fasisme sebagai sebuah kegilaan paska perang; kaum reformis Jerman melihatnya sebagai bentuk ‘Versailles’ atau kegilaan akibat krisis. Dalam kedua kasus tersebut, kaum reformis menutup mata mereka terhadap karakter organik fasisme sebagai sebuah gerakan massa yang muncul dari kejatuhan yang dialami kapitalisme.
[Catatan: Perjanjian Versailles, dijatuhkan pada Jerman sesudah Perang Dunia Pertama; hal yang paling dibenci darinya adalah ganti rugi tanpa batas waktu yang harus diserahkan pada kubu Sekutu dalam bentuk ‘perbaikan’ bagi kerusakan dan kehilangan akibat perang. "Krisis" yang dimaksud pada paragraf di atas adalah depresi ekonomi yang menyapu dunia kapitalis setelah kolapsnya Wall Street di tahun 1929.]
Takut terhadap mobilisasi pekerja revolusioner, kaum reformis Italia menggantungkan semua harapannya pada ‘negara’. Slogan mereka adalah, ‘Tolong! Victor Emmanuel, tekanlah mereka!’ Kaum Sosial Demokrasi Jerman tidak memiliki sokongan demokratik seperti halnya sebuah monarki yang setia pada konstitusi. Mereka harus puas dengan seorang presiden – ‘Tolong! Hindenburg, tekanlah mereka!’
[Catatan: Marshal Paul von Hindenburg (1847-1934), jendral kaum Junker yang meraih ketenaran pada perang dunia pertama dan tak lama berselang menjadi presiden republik Weimar. Di tahun 1932, kaum sosial demokrat mendukungnya dalam pemilu ulang sebagai ‘yang tidak lebih jahat’ dibandingkan dengan Nazi. Hindenburgh menunjuk Hitler sebagai kanselir di bulan Januari 1933.]
Saat berperang melawan Mussolini, atau dalam kata lain saat mundur dari hadapan Mussolini, Turati mengangkat mottonya yang spektakular, "seseorang harus memiliki kedewasaan untuk menjadi seorang pengecut." [Filippo Turati (1857-1937), teoritikus reformis terkenal Partai Sosialis Italia.] Kaum reformis Jerman lebih sedikit serius dengan slogan-slogan mereka. Mereka menuntut "Keberanian dalam ketidakpopuleran" (Mut zur Unpopularitaet) – yang artinya sama saja. Seseorang harus berani melawan ketidakpopuleran yang disebabkan oleh kepengecutannya sendiri yang cuma menunggu kesempatan baik dari musuh.
Penyebab-penyebab yang sama akan menghasilkan efek-efek yang sama pula. Bila deretan peristiwa-peristiwa bertumpu pada kepemimpinan partai Sosial Demokrasi, karir Hitler bisa dipastikan menjadi lancar.
Namun kita harus mengakui bahwa Partai Komunis Jerman juga belajar sedikit dari pengalaman Italia.
Partai Komunis Italia terbentuk pada waktu yang hampir bersamaan dengan fasisme. Tetapi, kondisi-kondisi kemandegan revolusioner yang sama, yaitu yang membawa kaum fasis pada kekuasaan, terbukti menghambat perkembangan partai Komunis. Mereka tidak mengerti sepenuhnya akan bahaya fasisme; mereka menidurkan diri mereka sendiri dengan ilusi-ilusi revolusioner; mereka menentang secara kuat kebijakan front persatuan; singkatnya, mereka menderita penyakit kekanak-kanakan. Tidaklah mengejutkan! Umurnya hanyalah dua tahun. Dalam pandangan matanya, fasisme muncul hanya sebagai ‘reaksi kapitalis’. Partai Komunis Italia tidak bisa mengerti karakter-karakter khusus fasisme yang berasal dari mobilisasi borjuis kecil melawan massa proletar. Kecuali Gramsci, kawan-kawan Italia menginformasikan pada saya bahwa Partai Komunis bahkan tidak memperhitungkan adanya kemungkinan-kemungkinan perebutan kekuasaan oleh kaum fasis. Setelah revolusi proletar telah menderita kekalahan, setelah kapitalisme telah merebut posisinya dan kubu kontra revolusioner berkuasa, mana mungkin terdapat jenis kebangkitan kontra revolusioner yang lain? Bagaimana bisa kaum borjuis melawan dirinya sendiri! Inilah inti dari orientasi politik Partai Komunis Italia. Akan tetapi, seseorang haruslah melihat kenyataan bahwa fasisme Italia merupakan sebuah fenomena baru, yang sedang dalam proses pembentukan; adalah sulit, bahkan bagi sebuah partai yang lebih berpengalaman, untuk memahami karakter khusus fasisme.
[Catatan: Antonio Gramsci (1891-1937): seorang pendiri Partai Komunis Italia, dipenjarakan oleh Mussolini pada tahun 1926, meninggal dalam tahanan sebelas tahun kemudian. Dia mengirimkan surat dari dalam penjara, atas nama komite politik Partai Komunis Italia, memprotes kampanye Stalin melawan kubu Oposisi Kiri. Taglatti, sebagai wakil dari Italia di Komintern di Moscow saat itu, mensensor surat tersebut. Sepanjang era Stalin, memori tentang Gramsci dihapuskan secara sengaja. Dalam periode de-Stalinisasi, dia ‘ditemukan kembali’ oleh Partai Komunis Italia dan secara formal dinobatkan sebagai pahlawan dan martir. Sejak itu, banyak sekali pengakuan internasional terhadap tulisan-tulisan teoritikalnya, terutama catatan Gramsci dalam penjara.]
Kepemimpinan Partai Komunis Jerman sekarang mengulangi hampir secara harfiah posisi-posisi yang diambil oleh Partai Komunis Italia; fasisme tidak lain adalah reaksi kapitalis; dari sudut pandang kaum proletar, perbedaan antara tipe-tipe dari reaksi kapitalis adalah tidak penting sama sekali. Radikalisme vulgar seperti ini kurang bisa dimaafkan mengingat partai Komunis Jerman adalah lebih tua dibandingkan Partai Komunis Italia pada saat itu; dan juga, Marxisme saat ini telah diperkaya oleh pengalaman tragis di Italia. Menekankan bahwa fasisme sudah ada di sini atau menolak kemungkinan mereka merebut kekuasaan, secara politis berujung ke hal yang sama. Dengan mengabaikan sifat spesifik dari fasisme, kemauan untuk melawan fasisme akan menjadi lumpuh.
Pihak yang harus memikul tanggung jawab dari semua ini, tentu saja, adalah kepemimpinan Komintern. Dari semua orang, kaum komunis Italia seharusnya wajib untuk memperingatkan kaum Komunis Jerman. Tapi Stalin, bersama dengan Manuilsky, memaksa mereka untuk menyangkal pelajaran terpenting dari kehancuran mereka sendiri.
[Catatan: Dmitri Manuilsky (1883-1952): mengepalai Komintern dari 1929 sampai 1934; pemecatannya menandai perubahan dari ultra-kiri ke oportunisme periode Front Popular. Belakangan muncul di panggung diplomatik, sebagai delegasi untuk PBB.]
Kita juga telah mengamati dengan kecepatan seperti apa Ercoli melompat ke posisi sosial fasisme — dalam kata lain, ke posisi pasif menunggu kemenangan fasis di Jerman.
[Catatan: Ercoli. Nama pena komintern untuk Palmiro Togliatti (1893-1964). Mengepalai Partai Komunis Italia setelah pemenjaraan Gramsci. Dia mempertahankan semua garis zigzag komintern, tetapi setelah kematian Stalin dia mengkritisi pemerintahan Stalin bersama dengan karakter-karakternya yang masih berlanjut di Uni Soviet dan gerakan komunis internasional.]


Bahaya Fasis Muncul di Jerman

Diambil dari “Perubahan dalam Komunis Internasional dan Situasi di Jerman”, 1930.
Pemberitaan resmi Komintern menggambarkan hasil dari pemilu di Jerman (September 1930) sebagai sebuah kemenangan besar bagi Komunisme, yang semakin menggelorakan slogan Soviet Jerman. Kaum optimis birokratis tidak ingin bercermin pada pengertian dari dinamika kekuatan yang terlihat dari statistik pemilu. Mereka melihat naiknya jumlah pemilih Komunis secara terpisah dari tugas-tugas revolusioner yang diciptakan oleh situasi tersebut dan halangan-halangan yang muncul. Partai Komunis menerima sekitar 4,600,000 suara dibandingkan dengan 3,300,000 pada tahun 1928. Dari sudut pandang mekanisme parlementer ‘normal’, peraihan 1,300,000 suara adalah signifikan, bahkan jika kita memperhitungkan naiknya jumlah total pemilih. Tapi prestasi partai ini akan memudar jika kita memperhatikan kenaikan fasisme dari 800,000 menjadi 6,400,000 suara. Hal yang tak kurang penting untuk dievaluasi adalah kenyataan bahwa kubu Sosial Demokrasi, lepas dari kekalahan-kekalahan substansial mereka, tetap mampu mempertahankan kader-kader utama mereka dan masih menerima suara dari buruh yang lebih besar [8,600,000] dibandingkan dengan partai Komunis.
Sementara itu, jika kita harus bertanya pada diri kita sendiri, ‘kombinasi keadaan internasional dan domestik apa yang mampu membelokkan kelas pekerja ke Komunisme dengan kecepatan yang lebih hebat?’ kita tidak dapat menemukan keadaan yang lebih tepat selain situasi di Jerman dewasa ini: Young's Noose, krisis ekonomi, disintegrasi pemerintahan, krisis parlementarianisme, terbongkarnya kebangkrutan Sosial Demokrasi yang sekarang berkuasa. Melihat keadaan historis yang konkrit ini, daya tarik dari Partai Komunis Jerman dalam kehidupan sosial bangsa, walaupun meraih 1,300,000 suara, tetap kecil secara proporsional.
[Catatan: ‘Young's Noose ’: sebuah referensi pada “Young Plan”. Owen D. Young, seorang pelaku bisnis kenamaan dari Amerika, yang merupakan Agent-General bagi perbaikan Jerman selama 1920-an. Dimusim panas 1929, dia menjadi ketua dari sebuah konferensi yang mengadopsi rencananya untuk menggantikan Dawes Plan yang tidak sukses demi ‘memfasilitasi’ pembayaran Jerman terhadap perbaikan-perbaikan seperti yang tercantum dalam perjanjian Versailles.]
Kelemahan dari posisi Komunisme, yang tanpa bisa dipungkiri bersumber pada kebijakan dan rezim Komintern, akan terlihat lebih jelas jika kita membandingkan pengaruh sosial Partai Komunis dengan tugas-tugas konkrit yang tidak bisa ditunda lagi yang telah dibebankan padanya oleh kondisi historis sekarang ini.
Adalah benar bahwa Partai Komunis sendiri tak mengharapkan pencapaian semacam itu. Ini membuktikan bahwa di bawah hempasan kesalahan dan kekalahan, kepemimpinan partai-partai Komunis menjadi tidak biasa dengan tujuan-tujuan dan pemikiran-pemikiran besar. Kalau kemarin mereka meremehkan kesempatan-kesempatan yang mereka punyai, kali ini mereka sekali lagi meremehkan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Akibatnya, satu bahaya menjadi semakin berlipatganda.
Padahal, karakter pertama dari partai yang benar-benar revolusioner adalah mampu untuk melihat realitas yang ada di depannya.

***

Dalam rangka menggiring krisis sosial ke revolusi proletar, adalah penting bahwa, disamping kondisi lainnya, pergeseran yang menentukan dari kaum borjuis kecil terjadi ke arah proletar. Ini akan memberikan kesempatan bagi proletar untuk menempatkan dirinya pada garda depan bangsa sebagai pemimpin.
Pemilu yang terakhir memperlihatkan sebuah pergeseran ke arah yang berbeda - disinilah terdapat signifikansi utama dari gejala-gejala fasisme. Di bawah hantaman krisis, kaum borjuis kecil berbelok, tidak ke arah revolusi proletar, tapi ke arah reaksi imperialis yang paling ekstrem, yang juga menarik dibelakangnya sebagian massa proletar yang cukup besar.
Pertumbuhan besar dari Sosialisme Nasional adalah sebuah ekspresi dari dua faktor: krisis sosial yang mendalam, yang megoyangkan stabilitas massa borjuis kecil, dan tidak adanya partai revolusioner yang dianggap oleh massa rakyat sebagai pemimpin revolusioner yang bisa diterima oleh mereka. Jika partai Komunis adalah partai pengharapan revolusioner, maka fasisme, sebagai sebuah sebuah gerakan massa, adalah partai keputus-asaan kontra-revolusioner. Saat pengharapan revolusioner merengkuh seluruh massa proletar, bagian-bagian borjuis kecil yang tumbuh dan dalam jumlah yang patut diperhitungkan akan terseret ke arah jalan revolusi. Dalam lingkup ini, hasil pemilu ini secara jelas memperlihatkan gambaran yang berlawanan: keputus-asaan kontra-revosioner merangkul borjuis kecil dengan kekuatan yang sangat besar sehingga ia juga menarik banyak massa proletariat ...
Fasisme di Jerman benar-benar telah menjadi ancaman yang nyata; sebagai ekspresi akut dari posisi rezim borjuis yang tak tertolong lagi, peranan konservatif dari Sosial Demokrasi dalam rezim ini, dan ketidakberdayaan partai Komunis untuk mengenyahkannya. Siapapun yang menolak fakta ini adalah buta atau pembual belaka....
Bahaya tersebut menjadi semakin akut dalam hubungannya dengan tempo perkembangannya, yang tidak bergantung pada kita semata. Karakter mendadak dari kurva politik seperti yang terlihat dari hasil pemilu menunjukkan fakta bahwa tempo perkembangan krisis nasional dapat berubah dengan sangat cepat. Dengan kata lain, rentetan-rentetan kejadian penting dapat hadir kembali di Jerman esok hari, di dalam jalan historis yang baru; kontradiksi usang antara kematangan situasi revolusioner, pada satu pihak, dan kelemahan serta impotensi partai revolusioner, pada lain pihak. Ini harus dibeberkan secara jelas, terbuka dan, terutama, tepat pada waktunya.

***

Dapatkah kekuatan perlawanan konservatif buruh Sosial Demokrat diprediksi sebelumnya? Tidak bisa. Berdasarkan kejadian-kejadian tahun lalu, kekuatan ini terlihat sangat besar. Tetapi sebenarnya, faktor yang paling membantu penggelembungan Sosial Demokrasi adalah kebijakan Partai Komunis yang salah, yang menemukan generalisasi tertingginya dalam teori sosial fasisme yang tidak masuk akal. Untuk mengukur perlawanan nyata dari anggota-anggota sosial demokrat, dibutuhkan instrumen pengukur yang berbeda, yaitu, taktik Komunis yang tepat. Lewat cara ini – dan ini bukanlah hal yang remeh – tingkatan persatuan internal dari Sosial Demokrasi dapat diukur dalam sebuah periode yang terhitung singkat.
Dalam bentuk yang berbeda, apa yang baru dijelaskan di atas dapat diaplikasikan pada fasisme: fasisme bersumber, terlepas dari kondisi-kondisi lain yang hadir, dari kekacauan strategi Zinoviev-Stalin. Di manakah letak kekuatan serangannya? Dimanakah letak stabilitasnya? Sudahkah dia mencapai titik kulminasi, sebagaimana yang kaum ex-officio optimis [Komintern dan pejabat-pejabat Partai Komunis] katakan kepada kita, atau apakah ini barulah langkah pertama dari jenjang yang ada? Hal-hal tersebut tidak bisa diprediksi secara mekanis. Mereka hanya bisa ditentukan lewat aksi. Khususnya dalam hal fasisme, yang merupakan pisau di tangan kelas musuh, kebijakan yang salah dari Komintern dapat menghasilkan hasil-hasil fatal dalam waktu singkat. Di lain pihak, kebijakan yang benar – meski tidak dalam periode sesingkat itu - bisa melumpuhkan posisi fasisme....
[CATATAN: "Strategi Zinoviev-Stalin": Gregory Y. Zinoviev (1883-1936), ketua Komintern mulai dari pembentukannya di tahun 1919 sampai pemecatannya oleh Stalin pada tahun 1926. Setelah kematian Lenin, Zinoviev dan Kamenev membentuk sebuah blok dengan Stalin (Troika) untuk melawan Trotsky dan mendominasi partai Soviet. Pada masa dominasi Zinoviev-Stalin dalam Komintern, garis oportunis menggiring gerakan pada kekalahan demi kekalahan dan pelewatan kesempatan-kesempatan yang berharga, terutama penundaan revolusi Jerman pada 1923. Setelah pecah dengan Stalin, Zinoviev menyatukan pengikutnya dengan Oposisi Kiri Trotskyist. Tetapi pada tahun 1928, setelah pemecatannya dari partai Oposisi Persatuan, Zinoviev kembali ke Stalin. Setelah diterima kembali oleh partai, dia ditendang keluar lagi di tahun 1932. Setelah mengingkari semua pandangan-pandangan kritisnya, dia diterima lagi, tapi di tahun 1934, dia dikeluarkan dan dipenjara. Dia "mengaku" dalam Pengadilan Moscow pada tahun 1936 dan dieksekusi.]
Jika partai Komunis, walaupun di dalam keadaan yang menguntungkan, terbukti tak berdaya mengguncang struktur kubu Sosial Demokrasi dengan bantuan formula sosial fasisme, maka fasisme yang riil sekarang mengancam struktur tersebut, tak lagi dengan formula muluk-muluk yang disebut radikalisme, tetapi dengan formula kimia yang menghasilkan ledakan-ledakan. Tak peduli seberapa benar bahwa Sosial Demokrasi melalui kebijakannya secara keseluruhan mengkondisikan mekarnya fasisme, tetapi juga benar kenyataaan bahwa fasisme datang sebagai ancaman mematikan terutama bagi kubu Sosial Demokrasi, yaitu mereka-mereka yang kebesarannya ditopang oleh bentuk-bentuk pasifis-demokratik-parlementer dan metode-metode pemerintah...
Kebijakan front persatuan para buruh untuk melawan fasisme mengalir dari situasi ini. Ini membuka kesempatan yang luar biasa bagi Partai Komunis. Tapi kondisi untuk kemenangan harus diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap teori dan praktek dari sosial fasisme, yang kesalahannya menjadi tanda positif dalam keadaan saat ini.
Krisis sosial secara tidak terelakkan akan menghasilkan perpecahan-perpecahan yang mendalam di dalam kubu Sosial Demokrasi. Radikalisasi dari massa akan mempengaruhi kubu Sosial Demokrat. Kita harus membikin persetujuan dengan berbagai organisasi-organisasi Sosial Demokratik dan faksi-faksi yang melawan fasisme, dengan menaruh prasyarat-prasyarat yang jelas atas hubungan ini kepada para pemimpin sosial demokrasi, di depan mata massa.... Kita harus segera meninggalkan segala omong kosong ofisial tentang front persatuan dan mulai melihat kembali kebijakan front persatuan seperti yang diformulasikan oleh Lenin dan selalu diterapkan oleh Bolshevik di tahun 1917.

Dongeng Asoep

Diambil dari "Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman", 1932.
Seorang penjual ternak suatu waktu menggiring beberapa kerbau ke penyembelihan. Dan sang penyembelih datang pada malam hari dengan pisau tajamnya.
‘Mari kita merapatkan barisan dan kita tanduk si penyembelih,’ saran salah satu dari kerbau-kerbau tersebut.
‘Jika anda tak keberatan, tolong katakan dalam hal apa si penyembelih lebih buruk dari si penjual ternak yang telah menggiring kita kemari dengan tongkatnya?’ balas kerbau-kerbau lain, yang telah menerima pendidikan politiknya dari institut Manuilsky. [Maksud Trotsky disini adalah Komintern.]
‘Tapi, kita juga mampu untuk membereskan si penjualnya juga sesudahnya!’
‘Tak ada yang perlu dikerjakan,’ balas kerbau-kerbau itu lagi secara tegas kepada sang pengusul. "Kamu mencoba, dari kiri, untuk melindungi musuh kita — kamu adalah si penyembelih-sosial itu sendiri."
Dan mereka menolak untuk merapatkan barisan.

Tentara dan Polisi Jerman

Diambil dari “Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman”, 1932.
Menghadapi ancaman nyata, kaum Sosial Demokrasi menggantungkan harapannya bukan pada ‘Front Besi’, melainkan pada polisi Prusia. Kenyataan bahwa banyak polisi tersebut direkrut dari kalangan pekerja Sosial-Demokratik tidaklah berarti sama sekali. Kesadaran ditentukan oleh lingkungan, juga dalam kasus ini. Pekerja yang menjadi seorang polisi dalam sebuah negara kapitalis, adalah seorang polisi borjuis, bukanlah seorang pekerja. Dalam tahun-tahun terakhir, polisi-polisi ini memerangi lebih banyak pekerja revolusioner dibandingkan pengikut-pengikut Nazi. Pelatihan seperti itu meninggalkan efek-efek yang khas. Dan, di atas segalanya: setiap polisi tahu bahwa meski pemerintah dapat berganti, polisi akan tetap bertahan.
[Catatan: ‘Front Besi’: sebuah blok yang terdiri dari beberapa serikat buruh yang besar dan kelompok-kelompok borjuis 'republiken' yang memiliki sedikit prestise, atau tidak sama sekali, di antara massa. Blok ini dibentuk oleh Sosial Demokrat diakhir 1931. Kelompok-kelompok tempur yang disebut Tinju Besi (Iron Fist) dibentuk dalam serikat-serikat buruh ini, dan organisasi olahraga para pekerja digiring ke dalam Front Besi. Dalam parade dan rally awal mereka, ribuan pekerja mengangkat tangannya, meneriakkan ‘kebebasan’, dan bersumpah untuk mempertahankan demokrasi. Massa dalam partai Sosial Demokratik dan serikat-serikat buruh percaya bahwa organisasi ini akan digunakan untuk menghentikan Hitler. Tetapi ini tidak terjadi.]
Dalam isu tahun baru mereka, organ teoritis dari kubu Sosial Demokrasi, Dar Freie Wort (sungguh sebuah lembaran-lembaran terbitan yang buruk!) menerbitkan sebuah artikel yang mengagung-agungkan kebijakan ‘toleransi’. Hitler dilukiskan tak akan mampu menundukkan polisi dan Reichswehr [Tentara Jerman]. Berdasarkan konstitusi, Reichswehr berada di bawah komando presiden Republik Jerman. Karenanya, demikian mereka menyimpulkan, fasisme tidaklah berbahaya sepanjang pemerintahan dipegang oleh presiden yang taat pada konstitusi. Rezim Bruening harus didukung sampai pemilihan presiden sehingga presiden yang konstitusional bisa terpilih melalui sebuah aliansi dengan borjuis parlementer; dan maka dari itu jalan Hitler ke kekuasaan akan tertutup untuk tujuh tahun ke depan....
[Catatan: Heinrich Bruening adalah kanselir dari tahun 1930-32. Pemerintahan parlementer reguler di Jerman berakhir pada Maret 1930. Sesudahnya diikuti oleh beberapa rangkaian rezim Bonapartist – yaitu Bruening, von Papen, von Schleicher, kanselir-kanselir yang memerintah dengan tidak berdasarkan pada prosedur parlementer biasa, tetapi dengan prosedur ‘darurat’. Figur-figur Bonapartis ini menampilkan diri mereka sebagai penyelamat politik yang dibutuhkan negara untuk melewati krisis, dan oleh karenanya mereka berada di atas kelas dan partai. Mereka tidak bergantung pada partai demokratis borjuis yang lama tetapi pada komando mereka terhadap polisi, tentara, dan birokrasi pemerintahan. Berpura-pura menyelamatkan negara dari bahaya dari kubu kiri (sosialis dan komunis) dan kanan (fasis), mereka melepaskan pukulan terkeras mereka pada pihak kiri, karena kepentingan utama mereka adalah menyelamatkan kapitalisme.]
Politikus-politikus reformis — para ahli kolusi yang bodoh, ahli intrik dan pemuja karir yang lihai, konspirator kementerian dan parlementar yang hebat — terlempar dari kekuasaan mereka secara cepat oleh rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dihadapkan pada kontigensi mendesak, mereka menampakkan diri mereka sebagai – tak ada ekspresi yang lebih sopan selain ini – mayat-mayat yang inkompeten.
Bergantung pada seorang presiden sama halnya dengan bergantung pada ‘pemerintah’! Dihadapkan pada bentrokan yang akan muncul antara proletar dan borjuis kecil fasis – dua kubu mayoritas di negara Jerman – kaum Marxis dari Vorwaerts [koran utama sosial demokratik] berteriak pada para penjaga malam untuk memberikan bantuan pada mereka "Tolong! Pemerintah, tekanlah mereka!" (Staat, greif zu!)

Borjuis, Borjuis Kecil, dan Proletariat

Diambil dari “Satu-Satunya Jalan Bagi Jerman”, ditulis pada September 1932, dipublikasikan di Amerika Serikat pada April 1933.
Semua analisa serius terhadap situasi politik harus mengambil titik berangkat dari hubungan mutual antara tiga kelas: borjuis, borjuis kecil (termasuk para petani), dan proletar.
Borjuis yang kuat secara ekonomi mewakili bagian kecil dari sebuah negara. Untuk memperkuat dominasinya, mereka harus memastikan hubungan mutual yang pasti dengan borjuis kecil dan dengan kelas proletariat melalui perantaraan borjuis kecil.
Untuk memahami hubungan dialektis antara tiga kelas tersebut, kita harus membedakan tiga tahapan sejarah: pada saat awal perkembangan kapitalistik, ketika kaum borjuis menggunakan metode-metode revolusioner untuk menyelesaikan tugas-tugasnya; pada periode pertumbuhan dan pendewasaan rezim kapitalis, saat borjuis membentuk dominasinya dengan bentuk-bentuk yang demokratis, konservatif, pasifis, dan stabil; dan akhirnya, pada periode kemunduran kapitalisme, saat kaum borjuis dipaksa untuk menggunakan metode-metode perang sipil dalam melawan proletar untuk menjaga hak eksploitasinya.
Karakterisrik program politik dari tiga tahapan ini – JACOBINISME [sayap kiri kekuatan borjuis kecil pada revolusi Prancis; pada fase paling revolusionernya, dipimpin oleh Robespierre], reformis DEMOKRASI (termasuk Sosial Demokrasi), dan FASISME – adalah program-program mendasar dari tendensi borjuis kecil. Fakta ini sendiri, diatas segalanya, memperlihatkan betapa maha pentingnya — bukannya sekedar penting saja — penentuan-diri massa borjuis kecil bagi keseluruhan nasib masyarakat borjuis.
Tapi, hubungan antara borjuis dan dukungan sosialnya, yaitu borjuis kecil, sama sekali tidak bersandarkan pada kepercayaan mutual dan kolaborasi mutual. Berdasarkan karakter massanya, borjuis kecil adalah sebuah kelas yang tersisihkan dan tereksploitasi. Mereka melihat kaum borjuis dengan rasa iri dan sering juga dengan rasa benci. Kaum borjuis, pada pihak lain, tidak mempercayai kaum borjuis kecil walaupun menggunakan dukungan dari mereka, karena mereka sangat takut terhadap kecenderungan kaum borjuis kecil untuk menghancurkan batasan-batasan yang dibentuknya dari atas.
Saat mereka merencanakan dan melapangkan jalan bagi perkembangan borjuis, dalam setiap langkah mereka kaum Jacobin terlibat dalam pertentangan yang tajam dengan kaum borjuis. Mereka melayani kaum borjuis di dalam perjuangan mereka yang keras dalam melawan borjuis. Setelah mereka telah mencapai titik tertinggi dari peran historis mereka yang terbatas, kaum Jacobins jatuh, karena dominasi kapital adalah sesuatu yang sudah pasti.
Melewati serangkaian tahapan, kaum borjuis kemudian membangun kekuasaannya dalam bentuk demokrasi parlementer. Walaupun demikian, hal tersebut tidak dilakukan secara damai dan sukarela. Kaum borjuis benar-benar takut terhadap hak pilih universal. Tapi pada akhirnya, dengan bantuan kombinasi antara kekerasan dan konsesi, antara penindasan dan perubahan (reformasi), mereka berhasil mensubordinasi ke dalam kerangka kerja demokrasi formal tidak hanya kaum borjuis kecil tapi juga kaum proletar secara signifikan, melalui kelas borjuis kecil baru – yaitu kaum buruh aristokrat. Pada bulan Agustus 1914, kaum borjuis imperialis mampu, melalui cara demokrasi parlementer, memimpin jutaan pekerja dan petani ke dalam perang.
[CATATAN: 4 Agustus 1914: kolapsnya Internasional Kedua. Wakil-wakil Partai Sosial Demokratik Jerman di Reichstag memvoting budget perang pemerintahan imperialis; pada hari yang sama, wakil-wakil Partai Sosialis Prancis juga melakukan hal yang sama dalam ‘Chamber of Deputies’.]
Tetapi dengan adanya perang muncullah kemunduran yang besar dalam kapitalisme dan terutama pada bentuk demokratis dari dominasinya. Tidak ada lagi perubahan-perubahan dan revisi-revisi yang baru, tetapi yang ada adalah pemotongan dan penghapusan perubahan-perubahan yang sudah ada. Dengan ini, kubu borjuis bertentangan tidak hanya dengan institusi demokrasi proletarian (organisasi-organisasi buruh dan partai-partai politik) tetapi juga dengan demokrasi parlementer yang melahirkan organisasi-organisasi buruh di dalam kerangkanya. Karena itu, kampanye yang mereka lakukan adalah melawan ‘Marxisme’ pada satu pihak dan melawan parlementarisme demokratis pada pihak yang lain.
Tapi seperti halnya borjuis liberal yang pada zamannya tidak mampu dengan kekuatan mereka sendiri menghancurkan feudalisme, monarki, dan gereja, kaum kapital saat ini juga tak mampu dengan kekuatan mereka sendiri berhadapan dengan proletar. Mereka butuh dukungan borjuis kecil. Untuk tujuan ini, mereka harus dihela, dikuatkan, dimobilisasi, dan dipersenjatai. Tetapi metode ini menyimpan bahaya-bahayanya sendiri. Meskipun kaum borjuis menggunakan fasisme, mereka juga takut terhadap fasisme. Pada bulan Mei 1926, Pilsudski dipaksa untuk menyelamatkan masyarakat borjuis melalui kudeta yang diarahkan melawan partai-partai tradisional borjuis Polandia. Masalah ini berkembang jauh. Pemimpin partai Komunis Polandia, Warski, yang berasal dari kubu Rosa Luxemburg dan kemudian menyeberang ke kubu Stalin dan bukannya Lenin, menganggap kudeta Pilsudski sebagai jalan menuju "kediktatoran revolusioner demokratik" dan menyerukan kepada para buruh untuk mendukung Pilsudski.
[CATATAN: Joseph Pilsudski (1876-1935): seorang sosialis dengan pandangan-pandangan nasionalistik, pada tahun 1920, dia memimpin kekuatan anti-Soviet di Polandia; di tahun 1926, dia memimpin sebuah kudeta dan membangun sebuah kediktatoran fasis. Warski, teman dari Rosa Luxemburg, dia mendukung Luxemburg di dalam perdebatannya dengan kaum Bolshevik. Saat Komintern berzigzag ke kiri dalam fase ‘Periode Ketiga’-nya, Warski diturunkan dari kepemimpinan Partai Komunis Polandia, tapi tidak dipecat. Dia menghilang dari Uni Soviet pada masa pembersihan besar-besaran di tahun 1936-38. Rosa Luxemburg (1870-1919): Teoritikus dan pemimpin besar revolusioner. Pada awalnya aktif dalam gerakan sosialis di Polandia tempat asalnya, dia kemudian menjadi pemimpin sayap kiri Partai Sosial Demokratik Jerman. Rosa dan Karl Liebknecht dipenjara karena perlawanannya terhadap Perang Dunia I. Sesudah mereka dibebaskan, mereka memimpin Spartakusbund. Keduanya dipenjara dan dibunuh saat revolusi yang gagal pada tahun 1919.]
Pada pertemuan Komisi Polandia dari Komite Eksekutif Komintern pada tanggal 2 Juli 1926, penulis artikel ini (maksudnya Leon Trotsky sendiri) menyikapi kejadian-kejadian di Polandia itu:
“Dilihat secara menyeluruh, kudeta kubu Pilsudski adalah cara-cara borjuis kecil, cara-cara 'plebian', dalam mengatasi permasalahan mendesak masyarakat borjuis yang sedang mengalami pembusukan dan kemunduran. Di sini kita bisa melihat sebuah kemiripan langsung dengan fasisme Italia".
“Kedua bentuk fasisme ini memiliki ciri-ciri umum: mereka merekrut laskar penggempurnya terutama dari kelas borjuis kecil; Pilsudski seperti halnya Mussolini menggunakan metode-metode ekstra parlementer, dengan kekerasan secara terbuka, dengan metode-metode perang sipil; keduanya tidak mempunyai tujuan untuk menghancurkan masyarakat borjuis, sebaliknya mereka bertujuan melanggengkan masyarakat borjuis. Walaupun mereka memperkuat kubu borjuis kecil, mereka secara terbuka bergabung dengan borjuis besar setelah perebutan kekuasaan. Secara tidak sengaja, sebuah generalisasi sejarah muncul di sini, mengingatkan kita kembali pada evaluasi yang diberikan Marx menyangkut Jacobinisme sebagai metode plebian untuk menghancurkan musuh-musuh feodal kelas borjuis...Ini terjadi pada periode kebangkitan kelas borjuis. Saat ini kita harus mengatakan bahwa, pada periode kemundurannya, kelas borjuis sekali lagi menggunakan metode plebian dalam menyelesaikan tugas-tugasnya yang sudah tidak progresif lagi dan sungguh-sungguh reaksioner. Dalam pengertian ini, fasisme merupakan karikatur dari Jacobinisme."
“Kaum borjuis tak mampu mempertahankan kekuasaannya dengan cara dan metode-metode negara parlementer yang diciptakannya sendiri; mereka membutuhkan fasisme sebagai sebuah senjata pertahanan diri, setidaknya dalam waktu-waktu kritis. Walaupun demikian, kaum borjuis tidak menyukai metode 'plebian' dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka selalu menentang Jacobinisme, yang telah membuka jalan bagi perkembangan masyarkat borjuis dengan darahnya. Kaum fasis lebih dekat dengan kaum borjuis yang mengalami kemunduran dibandingkan kaum Jacobin dengan kaum borjuis yang sedang bangkit. Tetapi, kaum borjuis yang sadar tidak terlalu mendukung metode fasis dalam menyelesaikan tugas-tugasnya meskipun mereka melayani kepentingan masyarakat borjuis, sebab mereka melihat bahaya dibaliknya. Karena itu terdapat oposisi dari partai-partai borjuis terhadap fasisme."
“Kaum borjuis menyukai fasisme seperti halnya seorang pria yang sakit gigi menyukai giginya dicabut. Lingkaran-lingkaran masyarakat borjuis yang sadar telah mendukung kerja sang dokter gigi Pilsudski dengan keraguan, tetapi pada analisa terakhir mereka menerima kenyataan yang tidak terelakkan ini, meski dengan ancaman-ancaman, dengan negosiasi-negosiasi alot dan segala bentuk tawar-menawar. Maka, idola kaum borjuis kecil di masa lalu itu berubah menjadi gendarme kapital (catatan editor: gendarme adalah polisi di negara Prancis)."
Dalam usaha membatasi ruang gerak historis dari fasisme sebagai penggusur politik Sosial Demokrasi, dimunculkanlah teori sosial fasisme. Pada awalnya teori ini muncul sebagai suatu kebodohan yang tidak berbahaya, penuh dengan jargon dan kepura-puraan. Kejadian-kejadian selanjutnya telah menunjukkan pengaruh destruktif teori Stalinis ini pada seluruh perkembangan Komunis International.
Apakah karena peran historis dari Jacobinisme, dari demokrasi, dan dari fasisme, maka kaum borjuis kecil dikutuk untuk tetap menjadi sebuah alat ditangan kapital sampai hari akhirnya? Jika hal tersebut benar adanya, maka kediktaturan proletariat akan menjadi mustahil di negara-negara dimana kaum borjuis kecil merupakan mayoritas dan, lebih dari itu, bahkan menjadi sangat sulit di negara lainnya dimana kubu borjuis kecil mewakili minoritas yang penting. Untungnya, hal itu tidak benar adanya. Pengalaman Komune Paris [‘kediktaturan proletariat’ yang pertama, 18 Maret 1871] telah menunjukkan, setidaknya di dalam batasan-batasan sebuah kota, seperti halnya pengalaman Revolusi Oktober [Revolusi Rusia 1917] telah menunjukkan sesudahnya dalam skala yang jauh lebih besar dan melewati periode yang jauh lebih panjang, bahwa aliansi kaum borjuis kecil dan borjuis besar tidaklah permanen. Karena borjuis kecil tidak mampu menghasilkan sebuah kebijakan yang independen (itu juga alasan mengapa ‘kedikatatoran demokratis’ borjuis kecil tak mampu terwujud), kelas ini tak memiliki pilihan lain yang tersisa baginya selain memilih antara kaum borjuis dan proletar.
Di dalam era kebangkitan, pertumbuhan, dan mekarnya kapitalisme, biasanya kaum borjuis kecil secara patuh berada dalam kontrol kapitalis, walaupun kadang-kadang terjadi ledakan-ledakan ketidakpuasan yang singkat. Mereka tak mampu melakukan hal lainnya. Tetapi di bawah kondisi disintegrasi kapitalisme dan kebuntuan situasi ekonomi, mereka berjuang, mencari, dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari belenggu tuan-tuan dan penguasa-penguasa masyarakat yang lama. Mereka cukup mampu menghubungkan nasibnya dengan nasib kaum proletar. Untuk itu, hanya satu hal yang dibutuhkan: kaum borjuis kecil harus memperoleh kepercayaan pada kemampuan proletariat untuk memimpin masyarakat menuju jalan yang baru. Dan kaum proletar hanya dapat menginspirasikan kepercayaan ini melalui kekuatannya, melalui ketegasan tindakannya, melalui ofensif yang hebat melawan musuhnya, melalui kesuksesan kebijakan revolusionernya.
Tapi, terkutuklah jika partai revolusioner tidak mampu mengukur ketinggian suatu situasi! Perjuangan sehari-hari kaum proletar telah mempertajam ketidak-stabilan masyarakat borjuis. Mogok-mogok kerja dan gangguan-gangguan politik telah memperparah situasi ekonomi negara. Kaum borjuis kecil dapat menerima secara sementara kesengsaraan yang semakin memburuk, jika melalui pengalaman mereka muncul kepercayaan bahwa kaum proletar berada dalam posisi untuk memimpin mereka ke jalan yang baru. Tapi jika partai revolusioner, di dalam perjuangan kelas yang semakin menajam, selalu tidak mampu menyatukan kelas pekerja untuk tujuan ini, bila ia tidak bisa mengambil keputusan tegas, kebingungan, bertengkar sendiri, maka kaum borjuis kecil kehilangan kesabaran dan mulai melihat pekerja revolusioner sebagai mereka yang bertanggung jawab atas kesengsaraannya. Semua partai-partai borjuis, termasuk kaum Sosial Demokrasi, memusatkan pemikirannya untuk tujuan ini. Saat krisis sosial mencapai keparahan yang luar biasa, sebuah partai tertentu muncul dengan tujuan langsung mengagitasi kaum borjuis kecil dan mengarahkan kebencian dan kekecewaannya untuk melawan kaum proletar. Di Jerman, fungsi historis ini dilakukan oleh sosialisme nasional (Nazisme), sebuah gerakan yang luas yang ideologinya terdiri dari asap busuk masyarakat borjuis yang mengalami disintegrasi.

Runtuhnya Demokrasi Borjuis

Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934
Sesudah perang, serangkaian revolusi-revolusi brilian penuh kemenangan hadir di Rusia, Jerman, Austria-Hungaria, dan lalu di Spanyol. Tetapi hanya di Rusialah kaum proletar merebut kekuasaan penuh di tangannya, menghancurkan penghisapnya, dan tahu bagaimana menciptakan dan mengelola negara buruh. Di semua tempat lainnya, kaum proletar, walaupun mereka menang, berhenti separuh jalan karena kesalahan kepemimpinan mereka. Akibatnya, kekuasaan lepas dari dari tangan mereka, bergeser dari kiri ke kanan, dan jatuh sebagai korban fasisme. Di negara-negara yang lain, kekuasaan jatuh ke tangan kediktaturan militer. Tak ada satupun parlemen yang mampu mendamaikan kontradiksi kelas dan menjanjikan kedamaian di dalam perkembangan peristiwa-peristiwa. Konflik-konflik diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Dalam kurun waktu yang lama, masyarakat Prancis berfikir bahwa fasisme tak mempunyai urusan apa-apa dengan mereka. Mereka memiliki sebuah republik dimana semua permasalahan diselesaikan oleh rakyat yang bebas melalui implementasi hak pilih universal. Tetapi pada tanggal 6 Februari 1934, ribuan kaum fasis and royalis, dipersenjatai dengan revolver, tongkat pemukul, dan pisau, memaksakan sebuah pemerintahan reaksioner Doumergue, yang di bawah perlindungannya kelompok-kelompok fasis terus tumbuh dan mempersenjatai dirinya. Apakah yang akan terjadi di esok hari?
[Catatan: Gaston Doumergue: perdana menteri Bonapartist Prancis. Menggantikan Edouard Daladier. Pemerintahan Daladier jatuh sehari sesudah kerusuhan fasis pada tanggal 6 Februari 1934.]
Tentu saja, di Prancis, seperti juga di beberapa negara Eropa tertentu (Inggris, Belgia, Belanda, Swiss, negara-negara Skandinavia), parlemen, pemilihan umum, kemerdekaan demokratis, atau sisa-sisanya masih eksis. Tetapi di semua negara ini, hukum historis yang sama akan berjalan, yaitu hukum kemunduran kapitalisme. Jika alat-alat produksi tetap berada di tangan sebagian kecil kapitalis, tak ada jalan keluar bagi masyarakat. Mereka dikutuk masuk dari satu krisis ke krisis yang lain, dari kebutuhan ke kesengsaraan, dari yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Di berbagai negara, kehancuran dan disintegrasi kapitalisme terekspresi dalam beragam bentuk dan tempo yang tidak sama. Tetapi ciri-ciri dasar dari proses ini adalah sama di mana-mana. Kaum borjuis menggiring masyarakat menuju kebangkrutan penuh. Mereka tak mampu lagi meyakinkan masyarakat, baik tentang roti atau perdamaian. Inilah alasan kenapa mereka tak bisa lagi mentolerir keadaan yang demokratis. Mereka dipaksa untuk menghancurkan para pekerja dan petani dengan menggunakan kekerasan fisik. Namun kekecewaan para pekerja dan petani tidak bisa diselesaikan semata-mata oleh polisi saja. Terlebih lagi, membuat tentara melawan rakyat adalah hal yang sangat sulit dan hampir mustahil. Bila ini dilakukan, hal pertama yang terjadi adalah disintegrasi di dalam tentara dan berakhir dengan tergiringnya sejumlah besar tentara ke pihak rakyat.
Karena itulah, kaum kapitalis finansial terpaksa membentuk kelompok-kelompok tempur khusus, dilatih untuk memerangi para pekerja tak ubahnya anjing yang dilatih untuk berburu. Fungsi historis fasisme adalah untuk menghancurkan kelas buruh, menghancurkan organisasi-organisasinya, dan merampas kemerdekaan politik ketika kaum kapitalis menyadari bahwa mereka tak mampu lagi memimpin dan mendominasi dengan mesin demokrasi.
Kaum fasis mendapatkan sumber daya manusianya dari kaum borjuis kecil. Kaum borjuis kecil telah hancur luluh-lantak oleh kapitalis besar. Tak ada jalan keluar bagi mereka di dalam kondisi sosial saat ini, mereka tidak tahu jalan keluar lainnya. Kaum fasis membelokkan kekecewaan, kemarahan, dan kesengsaraan kaum borjuis kecil dari kapital besar ke para pekerja. Boleh dibilang bahwa fasisme adalah tindakan untuk menjadikan kaum borjuis kecil sebagai alat yang digunakan oleh musuhnya, yaitu kapitalis besar. Dengan cara ini, kaum pemilik modal besar meruntuhkan kelas-kelas menengah dan kemudian, dengan bantuan demagogi fasis bayaran, memprovokasi kaum borjuis kecil yang putus-asa untuk melawan para pekerja. Rezim kaum borjuis dapat dipertahankan hanya dengan metode-metode kejam seperti demikian. Untuk berapa lama? Sampai mereka digusur oleh revolusi proletar.

Apakah Kaum Borjuis Kecil Takut Pada Revolusi ?

Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934
Kretin-kretin parlementer, yang menganggap dirinya sebagai ahli tentang masyarakat, seringkali berkata:
"Seseorang tidak boleh menakut-nakuti kelas menengah dengan revolusi. Mereka tidak suka ekstremitas".
Secara umum, penegasan di atas adalah salah sama sekali. Biasanya, pemilik usaha kecil memilih untuk tenang-tenang saja selama bisnis berjalan baik dan dia masih berharap bahwa masa depan akan menjadi lebih baik.
Tetapi ketika harapan ini hilang, dengan mudah dia akan marah dan siap untuk mengambil tindakan-tindakan yang paling ekstrem sekalipun. Jika tidak, bagaimana bisa mereka menjungkalkan negara demokratis dan membawa fasisme pada kekuasaan di Italia dan Jerman? Kaum borjuis kecil yang putus-asa melihat bahwa di dalam fasisme, yang terpenting dari semuanya, ada sebuah kekuatan penghancur dalam melawan modal besar, dan percaya bahwa, tak seperti partai-partai kelas pekerja yang hanya melawan melalui kata-kata saja, fasisme akan menggunakan kekerasan untuk membangun ‘keadilan’ yang lebih baik. Ditinjau dari kebiasaannya, petani dan artisan bersifat realistis. Mereka memahami bahwa seseorang tidak boleh melupakan penggunaan kekerasan.
Adalah salah, sangat salah, untuk menyatakan bahwa kaum borjuis kecil tidak berpihak pada partai-partai kelas pekerja karena mereka takut terhadap ‘tindakan-tindakan ekstrem’. Kenyataannya cukup bertolak belakang. Kaum borjuis kecil yang di bawah, dengan massanya yang besar, hanya melihat partai-partai kelas pekerja sebagai mesin-mesin parlementer. Kaum borjuis kecil tidak mempercayai kekuatan kaum proletar, kapasitas mereka untuk berjuang, dan juga kesiapan mereka pada saat ini untuk membawa perjuangan sampai ke titik akhir.
Dan jika keadaannya seperti itu, apakah berguna usaha-usaha untuk menggeser wakil-wakil kapitalis demokratis dengan wakil-wakil partai kiri di parlemen? Itulah yang dipikirkan dan dirasakan para tuan tanah kecil yang kecewa, dihancurkan, dan setengah tereksploitasi. Tanpa sebuah pemahaman akan psikologi para petani, artisan, para pekerja dan fungsionaris rendahan, dan lain-lain – sebuah psikologi yang datang dari krisis sosial – adalah tidak mungkin untuk membuat sebuah kebijakan yang tepat. Kaum borjuis kecil secara ekonomis tidak dapat berdiri sendiri dan secara politis terpecah-belah. Karena itulah mereka tidak mampu menjalankan sebuah kebijakan yang independen. Mereka butuh seorang ‘pemimpin’ yang memberikan mereka rasa percaya diri. Kepemimpinan individual atau kolektif ini, contohnya dari seorang figur yang terkenal atau sebuah partai, dapat ditawarkan kepada mereka oleh salah satu kelas fundamental – kaum borjuis besar ataupun proletar. Fasisme melepaskan dan mempersenjatai massa yang porak-poranda ini. Dari massa yang banyak itu, mereka mengorganisasir kelompok-kelompok tempur. Ini memberikan kaum borjuis kecil sebuah ilusi bahwa mereka adalah kekuatan yang independen. Mereka mulai membayangkan bahwa mereka benar-benar akan memerintah negara. Tidak mengherankan jika ilusi-ilusi dan harapan-harapan tersebut mampu menarik perhatian kaum borjuis kecil!
Akan tetapi, kaum borjuis kecil juga dapat menemukan seorang pemimpin dari kubu proletar. Hal ini dibuktikan di Rusia dan kurang lebih di Spanyol. Di Italia, Jerman, dan di Austria, kaum borjuis kecil sebenarnya tergiring ke arah yang sama. Tapi partai-partai proletar lokal di negara-negara tersebut tak mampu mengemban tugas sejarahnya.
Untuk menggiring kaum borjuis kecil ke pihaknya, kaum proletar harus memenangkan kepercayaan borjuis kecil. Dan untuk bisa melakukan hal tersebut, proletar harus mempunyai kepercayaan pada kekuatannya sendiri terlebih dahulu.
Mereka harus memiliki sebuah program aksi yang jelas dan harus siap untuk merebut kekuasaan dengan semua cara yang memungkinkan. Dipersiapkan oleh partai revolusioner untuk perjuangan yang menentukan dan tak kenal ampun, kaum proletar harus mengajak petani-petani dan borjuis kecil kota:
“Kami berjuang untuk merebut kekuasaan. Inilah program-program kami. Kami siap untuk mendiskusikan perubahan-perubahan dalam program kita. Kami akan menggunakan kekerasan hanya untuk kaum borjuis besar dan antek-anteknya, tetapi dengan anda sang pekerja keras, kami ingin membangun suatu aliansi dengan berdasar pada dasar-dasar program yang disetujui bersama”.
Kaum petani memahami bahasa seperti itu. Hanya saja mereka harus memiliki kepercayaan pada kapasitas proletariat untuk merebut kekuasaan.
Untuk itu diperlukan tindakan untuk membersihkan front persatuan dari semua pendistorsian, keragu-raguan, dan semua frase-frase kosong. Dibutuhkan juga pemahaman terhadap situasi dan penempatan diri pada jalan revolusi.

Milisi Kelas Pekerja dan Musuh-Musuhnya

Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934
Untuk berjuang, adalah perlu untuk menjaga dan memperkuat alat-alat perjuangan – organisasi, pers, pertemuan, dan lain-lainnya. Fasisme [di Prancis] mengancam semua itu secara langsung dan tiba-tiba. Mereka masih terlalu lemah untuk melakukan perjuangan perebutan kekuasaan secara langsung, tetapi mereka cukup kuat untuk merontokkan organisasi-organisasi kelas pekerja sedikit demi sedikit, memperkuat serangan-serangan mereka, dan untuk menyebarkan kekecewaan serta ketidakpercayaan para pekerja pada kekuatan mereka sendiri..
Fasisme mendapatkan pertolongan dari mereka-mereka yang tidak sadar yang mengatakan bahwa "perjuangan fisik" adalah salah atau tak berpengharapan, serta menuntut Doumergue untuk melucuti senjata milisi fasisnya. Tak ada yang lebih berbahaya bagi kaum proletar, terutama untuk situasi saat ini, selain racun berasa gula dalam bentuk harapan-harapan yang palsu. Tak ada yang meningkatkan keangkuhan kaum fasis begitu banyak seperti halnya ‘pasifisme lembek’ dari organisasi-organisasi pekerja. Tak ada yang merusak kepercayaan kelas-kelas menengah terhadap kelas pekerja selain keragu-raguan, pasifitas dan tidak adanya keinginan untuk bertarung.
Le Populaire [Koran Partai Sosialis] dan terutama l'Humanite [Koran Partai Komunis] menulis setiap hari:
“Front persatuan adalah sebuah blokade dalam melawan fasisme...”;
“Front persatuan tidak akan membiarkan...”;
“Kaum fasis tidak akan berani”, dan sebagainya.
Kesemuanya adalah omong kosong. Perlu ditegaskan kepada para pekerja, kaum Sosialis, dan Komunis secara langsung: jangan biarkan dirimu dinina-bobokan oleh omong kosong para jurnalis dan orator-orator yang dangkal. Ini adalah masalah hidup dan mati kita dan masa depan sosialisme. Kita bukannya mengingkari pentingnya front persatuan. Kami sudah menuntut hal ini jauh-jauh hari ketika para pemimpin kedua partai masih menolaknya. Front persatuan membuka banyak sekali kemungkinan, tapi hanya sebatas itu. Front persatuan semacam itu, dalam dirinya sendiri, tak akan menentukan apapun. Perjuangan massa-lah yang menentukan. Front persatuan ini akan terlihat kegunaannya jika kelompok komunis dan kelompok sosial demokrat saling membantu ketika kelompok fasis menyerang Le Populaire atau l'Humanite. Tapi untuk itu, kelompok-kelompok tempur proletar haruslah dibentuk dan dididik, dilatih dan dipersenjatai. Tanpa adanya sebuah organisasi pertahanan, seperti halnya milisi pekerja, Le Populaire atau l'Humanite mungkin masih mampu menulis artikel sesuka mereka tentang kehebatan front persatuan, namun kedua koran tersebut akan segera menemui diri mereka sendiri tanpa pertahanan saat mereka menghadapi serangan pertama kaum fasis yang dipersiapkan dengan baik.
Kami ingin mempelajari dengan kritis ‘argumen-argumen’ dan ‘teori-teori’ dari mereka-mereka yang menentang dibentuknya milisi pekerja; mereka ini yang sangat banyak dan berpengaruh di dalam dua partai kelas pekerja.
Kita sering mendengar hal semacam ini: “Kita membutuhkan pertahanan-massa dan bukannya milisi”.
Tetapi apakah yang dimaksud dengan ‘pertahanan-massa’ tanpa adanya organisasi-organisasi tempur, tanpa kader-kader khusus, tanpa senjata? Menyerahkan tanggung jawab pertahanan dalam melawan fasisme pada massa yang tidak terorganisir dan tak dipersiapkan sama dengan memainkan peran yang lebih rendah dari Pontius Pilatus. Menyangkal peran dari milisi sama halnya dengan menafikkan peran kaum garda depan. Kalau begitu, apa gunanya sebuah partai? Tanpa dukungan dari massa, milisi tak akan berarti sama sekali. Tapi, tanpa kelompok-kelompok tempur yang terorganisir, massa yang paling heroikpun akan diluluhlantakkan oleh geng-geng fasis. Adalah omong kosong untuk mengkontradiksikan antara milisi dengan pertahanan. Milisi adalah sebuah organ pertahanan.
“Untuk membentuk organisasi milisi,” tukas para penentang yang, tentu saja, tidak serius dan jujur, “sama dengan melibatkan diri dalam provokasi.”
Ini bukanlah sebuah argumen, tetapi sebuah penghinaan. Jika kebutuhan akan pertahanan dalam organisasi-organisasi pekerja datang dari situasi, bagaimana bisa seseorang tidak menyerukan pembentukan sebuah milisi? Mungkin mereka bermaksud untuk mengatakan bahwa pembentukan sebuah milisi ‘memprovokasi’ serangan dari kaum fasis dan represi pemerintah. Kalau yang dimaksud demikian, ini merupakan argumen yang benar-benar reaksioner. Liberalisme selalu mengatakan kepada para pekerja bahwa dengan perjuangan kelasnya mereka memprovokasi sebuah reaksi.
Kaum reformis kerap mengulang tuduhan ini terhadap kaum Marxis, kaum Menshevik terhadap kaum Bolshevik. Tuduhan semacam ini adalah berdasarkan suatu pemikiran jika kaum tertindas tidak melawan, maka kaum penguasa tidak akan memukul mereka. Ini adalah filosofi dari Tolstoy dan Gandhi, tapi bukanlah filosofinya Marx dan Lenin. Jika l'Humanite ingin membangun doktrin "jangan melawan kejahatan dengan kekerasan", mereka seharusnya tidak menggunakan palu dan arit atau emblem Revolusi Oktober sebagai simbolnya, sebaiknya mereka menggunakan simbol kambing suci yang menyediakan susu kepada Gandhi.
“Tetapi mempersenjatai para pekerja hanyalah cocok dalam sebuah situasi yang revolusioner, yang belum datang saat ini.”
Argumen yang bijaksana ini sama saja dengan mempersilakan kaum pekerja untuk dibantai sampai situasi menjadi revolusioner. Mereka yang kemarin mengkhotbahkan tentang ‘periode ketiga’ tidak ingin melihat apa yang sedang terjadi di depan mata mereka. Masalah tentang mempersenjatai diri terdorong ke depan sebab situasi ‘demokratis’, ‘normal’ dan ‘damai’ telah memberikan jalan bagi situasi yang ‘tak stabil’, ‘kritis’, dan ‘kacau’ yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam situasi yang revolusioner, bahkan juga kontra revolusioner.
[Catatan: "Periode Ketiga": berdasarkan skema kaum Stalinis, periode ini adalah ‘periode terakhir kapitalisme’, periode kematiannya yang segera datang dan penggeserannya oleh soviet. Periode ini dianggap penting oleh komunis ultra-kiri dan taktik-taktik adventuris, khususnya konsep sosial fasisme.]
Alternatif dari situasi ini tergantung terutama pada: apakah pekerja yang berpandangan maju akan membiarkan dirinya diserang tanpa ampun dan dikalahkan sedikit demi sedikit atau membalas setiap pukulan dengan dua pukulan, meningkatkan keberanian kaum tertindas dan menyatukan mereka dalam panji-panji mereka. Sebuah situasi yang revolusioner tidaklah jatuh dari langit. Situasi ini mengambil bentuknya melalui partisipasi aktif kelas revolusioner dan partainya.
Sekarang kaum Stalinis Prancis berargumen bahwa milisi buruh tidaklah melindungi kaum proletar Jerman dari kekalahannya. Padahal baru kemarin mereka menyangkal kekalahan mereka di Jerman dan menegaskan bahwa kebijakan kaum Stalinis Jerman adalah benar dari awal sampai akhir. Sekarang mereka membebankan semua kesalahan pada milisi pekerja Jerman (Rote Front) [Front Tempur Merah: milisi yang didominasi kaum Komunis yang dilarang oleh pemerintahan Sosial Demokrasi setelah kerusuhan May Day Berlin, pada tahun 1929]. Dari satu kesalahan, mereka terjatuh ke dalam sebuah kesalahan lainnya yang berlawanan secara diametris, yang tak kalah mengerikannya. Milisi, dalam dirinya sendiri, tidaklah menyelesaikan permasalahan. Sebuah kebijakan yang tepat dibutuhkan. Sementara itu, kebijakan Stalinisme di Jerman ("sosial fasisme adalah musuh utama"), perpecahan dalam organisasi-organisasi buruh, percumbuan dengan nasionalisme, putschisme, menyebabkan secara fatal terisolasinya garda depan proletar dan keruntuhannya. Dengan strategi yang benar-benar keliru, tak akan ada milisi yang bisa menyelamatkan situasi.
Omong kosong jika, dalam dirinya sendiri, organisasi milisi akan terjerumus dalam adventurisme, memprovokasi musuh, menggeser perjuangan politik menjadi perjuangan fisik, dan lain sebagainya. Semua omongan ini tak lebih dari sebuah kepengecutan politik belaka.
Barisan milisi, sebagai organisasi garda depan yang kuat, terbukti merupakan pertahanan yang paling pasti dalam melawan petualang-petualang politik, melawan terorisme individu, melawan ledakan-ledakan spontan yang berdarah.
Pada waktu yang sama, barisan milisi merupakan satu-satunya cara yang serius untuk mencegah terjadinya perang sipil yang dipaksakan oleh kubu fasis kepada kaum proletar. Biarkanlah para pekerja, lepas dari tidak adanya sebuah ‘situasi revolusioner’, meluruskan ‘patriot-patriot anak mama’ dengan cara mereka sendiri, dan niscaya rekrutmen kelompok-kelompok fasis baru akan menjadi lebih sulit.
Tapi para ahli strategi, dibingungkan dengan cara pikirnya sendiri, menyangkal kami dengan argumen-argumen yang lebih bodoh. Kami mengutipnya secara tekstual:
“Jika kita merespon tembakan revolver kaum fasis dengan tembakan revolver yang lain," tulis L'Humanite pada tanggal 23 Oktober [1934], “Kita melupakan fakta bahwa fasisme adalah produk dari rezim kapitalis dan bahwa dalam perang melawan fasisme kita menghadapi keseluruhan sistem."
Tak ada kalimat-kalimat yang lebih membingungkan dan salah daripada kalimat-kalimat di atas. Adalah tidak mungkin untuk membela diri atas serangan kaum fasis sebab mereka adalah ‘sebuah produk dari rezim kapitalis’. Ini berarti kita harus membatalkan semua perjuangan, karena semua kejahatan sosial dewasa ini adalah ‘produk-produk dari sistem kapitalisme’.
Ketika kaum fasis membunuh seorang revolusioner, atau membakar habis gedung koran proletar, para pekerja diharapkan untuk mengeluh secara filosofis: ‘Pembunuhan dan pembakaran tersebut adalah produk-produk dari sistem kapitalis’, dan pulang dengan hati yang tenang. Sikap fatalisme menggantikan teori militan Marx demi keuntungan musuh kelas kita. Keruntuhan kaum borjuis kecil adalah, tentu saja, produk dari sistem kapitalisme. Pertumbuhan kelompok-kelompok fasis juga, sebagai konsekwensinya, adalah produk dari kehancuran kaum borjuis kecil. Tapi di pihak lain, peningkatan penderitaan dan perlawanan kaum proletar juga merupakan produk-produk dari kapitalisme, dan milisi pekerja, pada gilirannya, adalah produk dari makin tajamnya perjuangan kelas. Lalu kenapa, bagi kaum ‘Marxis’ l'Humanite, kelompok-kelompok fasis adalah produk yang sah dari kapitalisme dan milisi pekerja adalah produk yang tidak sah dari – kaum Trotskyis? Sulit untuk memahami ujung atau pangkal dari pernyataan ini.
“Kita harus menghadapi seluruh sistem kapitalisme ” demikian kita sering diberitahu.
Bagaimana caranya? Di awang-awang? Kaum fasis di negara-negara yang berbeda memulainya dengan menggunakan revolver dan mengakhirinya dengan menghancurkan seluruh 'sistem' organisasi-organisasi pekerja. Bagaimanakah kita bisa menghadapi serangan bersenjata musuh jika tidak dengan pertahanan bersenjata untuk, pada gilirannya, balas menyerang?
l'Humanite sekarang mengakui pentingnya pertahanan di dalam tulisan-tulisan mereka, tetapi hanya dalam bentuk ‘pertahanan diri massa’. Milisi bersifat merugikan karena, seperti anda lihat, mereka memisahkan kelompok tempur dari massa. Tetapi kenapa terdapat detasemen-detasemen bersenjata independen diantara kaum fasis yang tidak terpisah dari massa reaksionernya, yang sebaliknya meningkatkan keberanian dan kepercayaan massa tersebut dengan serangan-serangan mereka yang tersusun rapi? Atau mungkin massa pekerja lebih rendah kualitasnya dalam pertempuran dibandingkan dengan kaum borjuis kecil?
Terjerat dalam kebingungan, l'Humanite akhirnya mulai ragu-ragu dengan pendapatnya sendiri: tampaknya pertahanan diri massa membutuhkan pembentukan ‘kelompok pertahanan diri’ khusus. Kelompok-kelompok dan detasemen-detasemen khusus diajukan untuk menggantikan konsep milisi yang ditolak. Pada awalnya seolah-olah perbedaan yang ada hanya menyangkut soal nama. Tak bisa disangkal, nama yang diajukan oleh L'Humanite tidak berarti apapun. Seseorang bisa mengajukan konsep ‘pertahanan diri massa’, tetapi tidak mungkin mengajukan konsep ‘kelompok pertahanan diri’ sebab tujuan dari kelompok tersebut bukanlah untuk membela dirinya sendiri tapi untuk membela organisasi-organisasi pekerja. Tetapi, tentu saja ini bukan soal nama belaka. “Kelompok pertahanan diri”, menurut l'Humanite, harus menolak penggunaan senjata demi menghindari jatuhnya mereka ke dalam “putschisme”. Orang-orang bijaksana ini memperlakukan kelas pekerja tak ubahnya seperti bayi yang harus dilarang memegang pisau di tangannya. Selain itu, seperti kita ketahui bersama, pisau adalah monopoli dari Camelots du Roi [kaum monarkis Prancis yang bergabung dengan koran Charles Maurras, Action Francaise, yang merupakan kubu anti demokratik dan seringkali menggunakan kekerasan], yang merupakan ‘produk sah dari kapitalisme’ dan, dengan bantuan pisau, telah menjungkalkan ‘sistem’ demokrasi. Lalu bagaimana ‘kelompok pertahanan diri’ ini dapat membela dirinya dalam melawan revolvernya kaum fasis? “Secara ideologis,” tentu saja. Dengan kata lain: mereka bisa bersembunyi. Tanpa memiliki apa yang mereka butuhkan di tangan mereka, mereka harus mencari "pertahanan diri" di kaki mereka. Dan sementara itu, kaum fasis menghancurkan organisasi-organisasi pekerja tanpa perlawanan sama sekali. Tetapi jika kaum proletar menderita kekalahan yang hebat, setidaknya mereka tidak jatuh ke dalam ‘putschisme’. Para pembual ini, yang berlindung dibawah panji-panji ‘Bolshevisme’, hanya menimbulkan kemuakan dan kebencian saja.
Selama ‘periode ketiga’ yang indah – saat ahli-ahli strategi l'Humanite terserang halusinasi, ‘menguasai’ jalan-jalan setiap hari dan mengutuk semua orang yang tidak bergabung dengan keekstravaganzaan mereka sebagai kaum ‘sosial fasis’ – kami sudah memprediksikan: “Pada momen dimana tuan-tuan ini terbakar ujung-ujung jarinya, mereka akan menjadi kaum oportunis terburuk yang pernah ada.” Prediksi ini sekarang telah digenapi sepenuhnya. Pada saat dimana persetujuan tentang pembentukan milisi semakin tumbuh dan menguat di dalam gerakan partai Sosialis, para pemimpin dari apa yang disebut sebagai partai Komunis ini lari ke pipa air untuk mendinginkan keinginan pekerja maju untuk mengorganisir dirinya dalam barisan-barisan tempur. Dapatkah seseorang membayangkan perbuatan yang lebih celaka dan terkutuk dari tindakan ini?
Dalam Partai Sosialis sesekali keberatan semacam ini juga terdengar dari anggota-anggota partai: “Sebuah milisi memang harus dibentuk tapi tidak ada gunanya untuk mengumumkan secara terbuka tentang hal ini.”
Seseorang bisa menghargai kawan yang berharap untuk melindungi bagian praksis masalah dari mata dan telinga yang tidak berkepentingan

Mengenal FASISME

Fasisme

Fasisme: Catatan Kecil dari Ebenstein
Paham fasisme mencuat ketika dimulainya masa Perang Dunia II. Setidaknya perang yang muncul saat itu, terjadi sebagai akibat perkembangan ideology fasis di Italia, Jerman dan Jepang, yang ingin meluaskan pengaruh ekstra-nasionalisnya. Sehabis berlangsungnya Perang Dunia II, ideologi fasisme seakan-akan berakhir, tetapi hal yang terjadi tidak nyata demikian. Sebagai sebuah produk pemikiran, benih-benih fasisme akan terus ada selama terdapat kondisi obyektif yang membentuknya.
Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”. Fasisme muncul dengan pengorganisasian pemerintahan dan masyarakat secara totaliter, kediktatoran partai tunggal yang bersifat: ultra-nasionalis, rasis, militeris dan imperialis. Fasisme juga muncul pada masyarakat pasca-demokrasi dan pasca-industri. Jadi, fasisme hanya muncul di negara yang memiliki pengalaman demokrasi. Hal- hal yang penting dalam penbentukan suatu karakter negara fasis adalah militer, birokrasi, prestise individu sang diktator dan terpenting, dukungan massa. Semakin keras pola kepemimpinan suatu negara fasis, semakin besar pula dukungan yang didapatnya.
Latar Belakang Fasisme
Kondisi penting lainnya dalam pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi. Munculnya negara industri, memunculkan ketegangan sosial dan ekonomi. Jika liberalisme adalah penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang mengakomodasi kepentingan yang ada, maka fasisme mengingkari perbedaan kepentingan secara paksaan. Fasisme mendapat dukungan pembiayaan dari industriawan dan tuan tanah, karena kedua kelompok ini mengharapkan lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang dianggapnya menghambat kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan lain bagi rezim fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka melihat fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari kaum militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai jalan menuju militerisasi rakyat.
Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah.
Dengan demikian, fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Tak aneh, jika dalam sejarahnya rezim fasis senantiasa mendapatkan dukungan masyarakat. Terutama hal ini jelas terjadi di Jerman.
Akar-akar Psikologis Totaliterisme
Petunjuk ke arah pemahaman fasisme terletak pada kekuatan dan tradisi masyarakatnya. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi.
Namun demikian antara sang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat. Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah tipekal negara demikian.  Adanya gerakan massa yang otoriter dalam fasisme justru ditentukan oleh hasrat banyak orang untuk memasrahkan diri dengan setia. Hal ini tentunya tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Fasisme ibarat memanfaatkan kondisi psikologis kepatuhan sang anak kepada orang-tuanya. Dengan kepatuhan, maka sang anak akan terlindungi karena memiliki tempat bergantung.
Fasisme juga memiliki ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya.
Sebagai cara mempertahankan kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa atau negara manapun. Nahasnya, apabila fasisme kalah, maka sang pemimpin fasis akan menjadi korban kehancuran rezimnya sendiri. Sejarah mencatat nasib tragis yang dialami Mussolini yang ditembak dan digantung oleh rakyatnya sendiri, setelah sebelumnya Italia mengumumkan kekalahannya dalam perang. Nasib Hitler mungkin sedikit lebih baik, karena ia “mati terhormat”  tanpa  harus tunduk kepada musuhnya.
Teori dan Praktek Fasisme
Doktrin dan Kebijaksanaan
Tidak seperti komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal.
Namun demikian, bukan berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat.  Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan.  Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan.  Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat.  Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.
Ekonomi Fasis
Ekonomi fasis menurut Ebenstein memiliki ciri negara korporasi. Dalam pemahaman ini, negara berkuasa untuk menata dan mengawasi system perekonomian. Negara fasis mengatur asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja diawasi dan asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi sebagai kelompok penengah.
Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporasi. Pertama,masyarakat biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, para elitlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat. Karena itu hanya mereka yang berhak memerintah.
Demokrasi dengan tegas menolak hal ini. Demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu sangat tidak mungkin para penguasa menggantikan “perasaan’ masyarakat yang dikuasai, terlebih lagi adanya prinsip kelas unggul di dalam masyarakat.
Bagi kaum fasis sendiri, Italia misalnya, negara  korporasi bukanlah suatu respons atas kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi kreatif dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian, bagaimanapun fasisme yang totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan bebas. Negara harus menunjukkan kuasanya diatas kepentingan atau unsur apapun.
Pada akhirnya, negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, maka kepercayaan terhadap Il Duce juga memudar. Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri.
Kasus “Fasisme” di Spanyol
Dalam melengkapi bahasannya, Ebenstein juga menceritakan mengenai keberadaan gerakan fasisme di Spanyol, di bawah pimpinan jendral Franco. Ebenstein mencatat bahwa ideology fasisme di Spanyol bertindak lebih moderat, karena pada awalnya ia hanya merupakan bentuk perkembangan kepentingan nasionalisme. Jendral Franco sendiri juga pada awalnya bukanlah seorang fasis, melainkan hanya militer biasa. Ia justru memanfaatkan kelompok Phalangis dalam menjalankan kekuasaannya. Berbeda dengan Fasisme Jerman dan Itali, dimana partailah yang memanfaatkan militer.
Bertahannya gerakan “fasis” franco lebih disebabkan karakter Spanyol yang agak berbeda dengan fasisme di Jerman maupun Italia. Di Spanyol, franco menjadi penguasa karena kemenangannya dalam perang saudara melawan kelompok republik. Ia juga mendapatkan dukungan kaum gerejawan, yang dipinggirkan dalam pemerintahan republik. Lebih penting, franco berkuasa atas negara yang baru mengembangkan industri dan baru bangkit sehabis perang, sehingga ketika Perang Dunia II terjadi, ia memilih untuk tidak melibatkan diri dalam persekutuan fasisme Italia-Jerman dan Jepang. Ketidak ikutsertaannyalah yang membuat rezim Franco mampu bertahan. Bahkan hingga kematiannya, ia masih di elukan oleh rakyatnya.
Namun demikian, pada akhirnya fasisme di Spanyol justru tumbang secara konstitusional dengan tahap kompromi yang lebih lunak. Dalam hal ini kelompok monarki Raja Juan Carlos memainkan hal yang penting, dan ternyata rakyat Spanyol juga tidak terlampau bereaksi karena perubahan yang ada. Lambat laun, Spanyol memasuki system liberalisme dan menjadi bagian masyarakat eropa.
Tanggapan terhadap bacaan
Tulisan ebenstein mengenai fasisme, mencoba mendudukkan ideology fasisme dalam tataran substansial. Ia melihat gejala fasisme sebagai suatu kondisi pada sebuah masyarakat, dan mungkin saja dapat terulang kembali. Tulisan ebenstein juga dikayakan dengan contoh kontemporer, yaitu kasus Spanyol.
Namun demikian, terdapat juga hal yang dirasakan kurang mengenai hal bagaimana fasisme mampu mempertahankan dukungan massa. Ebenstein hanya melihat adanya kekerasan sebagai suatu faktor pendukung, seakan melupakan faktor yang lainnya. Padahal, terdapat mekanisme penting yang dilupakan Ebenstein yaitu bagaimana kaum fasis menciptakan slogan atau ritus-ritus historis demi membangun karakter nasionalisme mereka. Bagaimanapun juga, jika kita mengamati munculnya negara fasis terdapat kecenderungan bahwa fasisme muncul pada negara yang memiliki identitas historis yang kuat.
Tentu bukan suatu kebetulan, selain menggunakan kekerasan, fasisme juga memanfaatkan parade atau aksi massa untuk memperkuat nasionalisme pendukungnya. Ketika Hitler atau Mussolini menciptakan gaya sapaan atau slogan dalam ritusnya, hal ini harus dilihat sebagai cara untuk menciptakan pola hubungan kharismatik (meminjam istilah Max Weber) antara penguasa dengan rakyatnya. Sehingga dalam konteks inilah hubungan patronase yang dikatakan ebenstein, dapat dilihat secara aktif. Secara psikologis, melihat manusia berduyun-duyun berkumpul memberi dukungan, maka akan menimbulkan nuansa sakralitas dan mitologis mengenai kemampuan komunal yang tak terkalahkan. Hitler lebih kuat fasismenya bukan hanya karena ia lebih kejam, melainkan juga karena ia mampu memanipulasi dengan cerdas symbol-symbol yang ada dalam masyarakat.
Faktor sejarah, juga merupakan kekuatan tersendiri. Hitler selalu mendengungkan “Third Reich”, Mussolini senantiasa mengatakan “Italia la Prima”, sedangkan Jepang senantiasa menunjukkan propaganda sebagai “Pemimpin Asia”. Ketika Hitler dan Mussolini menjabat sebagai kepala pemerintahan, maka keduanya juga membangun bangunan-bangunan megah sebagai symbol kejayaan suatu kekaisaran masa lampau. Bahkan Mussolini memperbaharui beberapa monumen Romawinya. Dengan kenangan masa lalulah, fasisme bergerak untuk menciptakan kejayaan di masa sekarang. Karena bagi mereka, hanya negara yang pernah unggul berhak atas sejarah dimasa sekarang. Dan inilah yang juga diandalkan oleh Hitler maupun Mussolini, dimana mereka mampu meyakinkan rakyatnya atas dasar keyakinan sejarah yang demikian.
Dalam konteks hubungan masa sekarang, ternyata ebenstein belum sampai pada kesimpulan penutup apakah masa depan fasisme masih ada. Pada titik inilah, terkadang muncul kealpaan kita dalam melihat keberadaan fasisme. Padahal fasisme yang rasis, sebagai suatu gagasan dan tindakan juga berada di mana-mana. Apakah benar yang ditunjukkan Paul Wilkinson (dan juga Harun Yahya), bahwa kekuatan kaum fasis sedang merasuki anak-anak generasi muda lewat gelombang musik punk dan skin head, dimana symbol nazisme senantiasa menjadi ikonnya. Atau apakah benar kelompok fasis sedang berupaya membangkitkan jati-dirinya kembali dengan hooliganisme di kancah sepak bola?  Saya kira hal ini masih merupakan asumsi-asumsi yang harus dibuktikan oleh sejarah perihal kebenarannya.