Kaum liberal dan bahkan kebanyakan dari mereka yang menganggap
dirinya Marxis bersalah atas penggunaan kata ‘fasis’ secara berlebihan
seperti yang terjadi hari-hari ini. Mereka mengumbarnya sebagai label
atau kutukan politis terhadap khususnya figur-figur sayap kanan yang
mereka benci, atau terhadap kaum reaksioner secara umum.
Sejak
Perang Dunia Kedua, label fasis telah dilekatkan pada figur-figur dan
gerakan-gerakan seperti Gerald L. K. Smith, Senator Joseph McCarthy,
Senator Eastland, Barry Goldwater, Minutemen, John Birch Society,
Richard Nixon, Ronald Reagan, dan George Wallace.
Apakah mereka semuanya betul-betul fasis, atau beberapa saja? Jika hanya beberapa saja, lalu bagaimana orang bisa membedakannya?
Bebasnya
penggunaan istilah fasis menunjukkan kekaburan makna dari istilah itu
sendiri. Saat diminta untuk mendefinisikan fasisme, kaum liberal
menjawab dengan istilah-istilah seperti kediktatoran, nerosis massa,
anti-Semitisme, kekuatan propaganda jahat, efek hipnotik seorang orator
jenius-sinting pada massa dan seterusnya. Impresionisme dan kebingungan
kaum liberal bukanlah hal yang terlalu mengherankan. Berbeda dengan
Marxisme yang mempunyai keunggulan untuk menganalisa dan membedakan
fenomena sosial dan politik. Bahwasanya banyak dari mereka yang mengaku
dirinya Marxis tak bisa mendefinisikan fasisme lebih baik dari kaum
liberal bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Entah mereka sadar atau
tidak, kebanyakan dari warisan tradisi intelektual mereka bersumber
dari kubu sosial demokratik (sosialis reformis) dan gerakan-gerakan
Stalinis, yang mendominasi kaum kiri di era 1930-an, yaitu pada saat
fasisme meraih kemenangan demi kemenangan yang gemilang.
Gerakan-gerakan ini tidak hanya mengizinkan Nazisme merebut kekuasaan
di Jerman tanpa adanya satupun perlawanan yang berarti, namun juga
gagal memahami sifat dan dinamika fasisme and cara untuk melawannya.
Setelah kemenangan fasisme, mereka memiliki banyak hal yang harus
disembunyikan dan maka dari itu mereka menarik diri dari usaha untuk
membuat analisa Marxis yang, paling tidak, bisa mendidik
generasi-generasi selanjutnya.
Akan tetapi, ada sebuah
analisa Marxis tentang fasisme. Analisa ini dibuat oleh Leon Trotsky,
bukan sesudah kehancuran Fasisme, namun dalam masa kejayaannya. Ini
adalah salah satu sumbangsih Trotsky yang terbesar kepada Marxisme. Dia
memulai pekerjaan ini sesudah kemenangan Mussolini di Italia pada tahun
1922 dan mempergencar usaha itu di tahun-tahun sebelum kemenangan
Hitler di Jerman pada tahun 1933.
Dalam usahanya untuk
membangkitkan Partai Komunis Jerman dan Komunis Internasional
(Komintern) dari ancaman fatal dan menciptakan sebuah Front-persatuan
melawan Nazisme, Trotsky membuat kritik komprehensif terhadap
kebijakan-kebijakan kaum sosial demokrat dan partai-partai Stalinis.
Karya ini merupakan peringatan atas posisi bunuh diri, tidak-efektif
dan keliru yang dapat diambil oleh organisasi-organisasi buruh dalam
menghadapi fasisme, karena posisi partai-partai di Jerman yang cuma
berkisar dari oportunisme dan pengkhianatan dari pihak kanan (sosial
demokratik) sampai kemandulan dan pengkhianatan ultra-kiri (Stalinis).
Gerakan
Komunis masih dalam kondisi kemabukan ultra-kirinya (apa yang disebut
sebagai Periode Ketiga) saat gerakan fasis mulai berkembang dengan
pesat bak bola salju yang menggelinding. Bagi kaum Stalinis, setiap
partai kapitalis secara otomotis adalah ‘fasis’. Yang lebih parah dari
tindakan yang mendisorientasi kelas pekerja semacam ini adalah
pernyataan terkenal dari Stalin bahwa fasisme dan sosial demokrasi
adalah "kembar" dan bukan saling bertentangan. Atas dasar itu, kaum
sosialis disebut sebagai ‘sosial fasis’ and dianggap sebagai musuh
utama. Sebagai akibat dari langkah ini, pembentukan front persatuan
dengan organisasi-organisasi sosial-fasis menjadi tidak dimungkinkan
lagi, dan mereka yang menuntut front-front semacam itu, seperti halnya
Trotsky, dituduh juga sebagai sosial fasis dan diperlakukan sebagaimana
layaknya seorang sosial fasis.
Begitu jauhnya garis kaum
Stalinis dari kenyataan bisa dilihat dari penerjemahan konsep ini dalam
konteks Amerika. Pada pemilu tahun 1932, kaum Stalinis Amerika mengutuk
Franklin Roosevelt sebagai kandidat fasis dan Norman Thomas sebagai
kandidat sosial fasis. Apa yang konyol dalam konteks politik Amerika
Serikat ini menjadi hal yang tragis dalam kasus Jerman dan Austria.
(Baru-baru
ini [1969], istilah sosial fasisme mulai muncul lagi dalam
artikel-artikel anggota gerakan kiri baru. Apakah mereka yang
menggunakan istilah itu berfikir bahwa merekalah yang menciptakannya?
Atau, jika mereka sadar akan sejarah, apakah mereka acuh tak acuh
terhadap konotasi istilah tersebut?)
Setelah Nazi merebut
kekuasaan, kaum Stalinis menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa
garis politik mereka 100 persen benar, bahwa Hitler hanya dapat
bertahan dalam beberapa bulan saja, dan bahwa Soviet Jerman akan
bangkit sesudahnya. Batas waktu untuk keajaiban ini ternyata molor dari
tiga, enam, sampai sembilan bulan, dan selanjutnya bualan-bualan itu
menghilang dalam kebisuan. Tingkat kekalahan yang diderita kelas
pekerja, yang merupakan sifat khusus dari fasisme, yang membedakannya
dari rezim atau kediktatoran reaksioner lainnya, menjadi nyata untuk
semua orang, dan ancaman terhadap Uni Soviet atau kehadiran
imperialisme Jerman yang dipersenjatai kembali mulai menjadi nyata. Hal
ini membawa perubahan dalam garis politik Moskow di tahun 1935 dan
partai-partai Komunis di seluruh penjuru dunia berzigzag jauh ke kanan,
bahkan ke posisi kanan kubu sosial demokrat. Ini adalah posisi mereka
di hadapan bahaya fasis yang menyebar di Prancis dan Jerman.
Kehancuran
militer fasisme Jerman dan Italia dalam Perang Dunia Kedua meyakinkan
mayoritas orang bahwa fasisme telah dimusnahkan untuk selamanya dan
didiskreditkan sampai titik di mana dia tak bisa menarik pengikut lagi.
Peristiwa-peristiwa semenjak itu, khususnya kebangkitan kelompok dan
tendensi fasis baru di hampir semua negara kapitalis, telah mementahkan
harapan semacam itu. Ilusi bahwa Perang Dunia Kedua dilakukan untuk
menjadikan dunia aman dari bahaya fasisme telah lenyap seperti ilusi
sebelumnya bahwa Perang Dunia Pertama dilakukan untuk menjadikan dunia
aman bagi demokrasi. Bibit fasisme merupakan karakter khusus di dalam
kapitalisme; sebuah krisis dapat meningkatkannya ke level epidemik
kecuali bila penanganan-penanganan yang drastis diterapkan atasnya.
Karena
peringatan awal telah datang, kami menawarkan kompilasi baru ini —
sebuah kumpulan kecil tulisan terpilih dari Trotsky mengenai fasisme –
sebagai sebuah sumbangan bagi gudang senjata anti fasis.
Fasisme - Apakah itu?
Potongan-potongan surat Trotsky kepada seorang kamerad Inggris, 15 November 1931; dimuat di The Militant, 16 Januari.
Apakah
fasisme itu? Istilah ini berasal dari Italia. Apakah semua bentuk
kediktatoran kontra-revolusioner itu bisa disebut fasis? (Katakanlah
sebelum kedatangan fasisme di Italia).
Kediktatoran Primo
de Rivera di Spanyol, 1923-30, disebut sebagai kediktatoran kaum fasis
oleh Komintern. Benarkah hal itu? Kami percaya bahwa pendapat itu salah.
Gerakan
fasis di Italia adalah sebuah gerakan spontanitas massa yang masif,
dengan para pemimpin baru yang berasal dari rakyat biasa. Gerakan fasis
Italia berasal dari gerakan plebian (catatan: plebian berarti berasal
dari rakyat biasa), disetir dan dibiayai oleh kekuatan borjuis besar.
Fasisme berkembang dari kaum borjuis kecil, kaum lumpenproletar, bahkan
pada tingkatan tertentu dari massa proletar; Mussolini, yang dulunya
seorang sosialis, adalah seorang yang "tumbuh dan besar sendiri" dari
gerakan ini.
Di lain pihak, Primo de Rivera adalah
seorang aristokrat. Dia pernah menempati posisi birokrat dan militer
tinggi dan pernah juga menjadi gubernur Catalonia. Dia meraih
kesuksesannya dalam perebutan kekuasaan dengan bantuan negara dan
militer. Kediktaturan Spanyol dan Italia adalah dua bentuk kediktaturan
yang benar-benar berbeda. Adalah penting untuk membedakan keduanya.
Mussolini mengalami kesulitan dalam merekonsiliasi institusi-institusi
militer lama dengan milisi fasis. Masalah ini tidak dialami oleh Primo
de Rivera.
Gerakan fasisme di Jerman secara umum lebih
mirip dengan gerakan yang terjadi di Italia. Gerakan tersebut adalah
gerakan massa, yang pemimpinnya banyak menggunakan demagogi sosialis
secara luar biasa. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan
gerakan massa.
Basis asli (bagi fasisme) adalah borjuis
kecil. Di Italia, mereka memiliki basis yang sangat luas - borjuis
kecil perkotaan besar dan kecil, dan para petani. Di Jerman, serupa
dengan di Italia, terdapat basis yang luas bagi fasisme...
Bisa
dikatakan, dan ini benar di dalam beberapa hal, bahwa kelas menengah
baru, fungsionaris negara, administrator swasta, dan sebagainya adalah
basis dari fasisme di sana. Ini adalah pertanyaan baru yang harus
dianalisa...
Dalam rangka memprediksi segala hal yang
berhubungan dengan fasisme secara benar, adalah perlu untuk memiliki
sebuah definisi tentang gerakan ini. Apakah fasisme itu? Apa saja yang
menjadi dasar, bentuk, dan karakternya? Bagaimana dia akan berkembang?
Semuanya perlu kita telaah dengan pendekatan Marxis dan ilmiah
Bagaimana Mussolini Meraih Kemenangannya
Diambil dari “Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman”, 1932
Saat
sumber daya ‘normal’ militer dan polisi dalam kediktatoran borjuis,
bersama dengan tabir parlementer mereka, sudah tak mampu lagi
mempertahankan stabilitas masyarakat — keniscayaan rezim fasis telah
tiba. Melalui agen fasis, kapitalisme menggerakkan massa borjuis kecil
yang irasional dan kelompok-kelompok lumpenproletariat yang rendah dan
terdemoralisasi – seluruh manusia yang telah digiring ke dalam
kesengsaraan dan kemarahan oleh kapitalisme.
Dari fasisme,
kaum borjuis menuntut sebuah pekerjaan yang menyeluruh; setelah selesai
menggunakan perang sipil, kaum borjuis menuntut kedamaian untuk periode
bertahun-tahun. Dan agen fasis, dengan menggunakan borjuis kecil
sebagai alat penghancur, dengan menabrak semua halangan yang ada di
jalannya, melakukan tugasnya dengan baik. Setelah fasisme menang,
kapital finansial segera dan langsung memusatkan di tangannya semua
organ dan institusi kekuasaan, eksekutif administratif, dan pendidikan
negara; seluruh aparatus negara bersama dengan tentara, pemerintahan
daerah, universitas-universitas, sekolah-sekolah, pers, serikat buruh,
dan koperasi. Saat sebuah negara berubah menjadi fasis, bukan berarti
hanya bentuk-bentuk dan metode-metode pemerintahan yang berubah sesuai
dengan bentuk yang ditentukan oleh Mussolini — perubahan dalam lingkup
ini pada akhirnya hanya berperan sangat kecil. Tapi yang pertama dan
utama adalah dibinasakannya organisasi buruh; kaum proletar dihancurkan
sampai tak berbentuk sama sekali; dan sebuah sistem administrasi
diciptakan untuk menpenetrasi massa secara mendalam dan berfungsi untuk
mengganggu kristalisasi independen kaum proletariat. Hal-hal tersebut
adalah inti dari fasisme...
***
Fasisme
Italia adalah hasil yang segera muncul dari pengkhianatan kaum reformis
di saat kebangkitan kaum proletar Italia. Pada waktu (Perang Dunia
Pertama) berakhir, terdapat tren naik dalam gerakan revolusioner
Italia, dan pada bulan September 1920 gerakan tersebut berhasil
melaksanakan penyitaan pabrik-pabrik dan industri-industri oleh para
pekerja. Kediktaturan proletariat merupakan sebuah kenyataan pada saat
itu; yang kurang saat itu adalah untuk mengorganisirnya dan mengambil
darinya semua kesimpulan yang diperlukan. Kekuatan Sosial Demokrasi
ternyata ketakutan dan loncat mundur. Setelah usahanya yang berani dan
heroik, kaum proletar ditinggalkan begitu saja untuk menghadapi
kekosongan. Terganggunya (terhentikannya) gerakan revolusioner ini
dalam kenyataanya menjadi faktor yang terpenting di dalam perkembangan
fasisme. Di bulan September, perkembangan revolusioner menjadi
terhenti; dan bulan November menjadi saksi dari sebuah demonstrasi
penting yang pertama dari kaum fasis (direbutnya Bologna).
[Catatan:
kampanye kekerasan kaum fasis dimulai di Bologna pada tangggal 21
November 1920. Ketika anggota dewan dari kubu Sosial Demokratik,
pemenang pemilihan daerah, muncul di balai kota untuk memperkenalkan
walikota yang baru, mereka disambut dengan tembakan senapan yang
membunuh 10 orang dan mencederai 100 lainnya. Kaum fasis menindak
lanjutinya dengan "ekspedisi penghukuman" ke wilayah-wilayah pedesaan
di sekitarnya yang merupakan daerah kubu "Liga Merah". "Skuadron Aksi"
berseragam hitam dengan kendaraan yang disuplai oleh para tuan tanah
besar mengambil alih desa-desa dengan serangan kilat, memukul dan
membunuh petani-petani kiri dan pemimpin-pemimpin buruh, menghancurkan
markas-markas organisasi radikal, dan meneror para penduduk. Didorong
oleh kesuksesan mereka yang mudah, kaum fasis kemudian meluncurkan
serangan dalam skala besar di kota-kota besar.]
Adalah
benar bahwa kaum proletar, bahkan sesudah bencana September, masih
mampu melaksanakan pertempuran defensif. Tapi kubu Sosial Demokrasi
hanya peduli dengan satu hal: menarik para pekerja dari pertempuran
dengan timbal balik konsesi. Kubu Sosial Demokrasi berharap bahwa sikap
pasif kaum pekerja akan mengembalikan ‘opini publik’ kaum borjuis untuk
melawan kaum fasis. Celakanya lagi, kaum reformis bahkan menggantungkan
harapannya pada raja Victor Emmanuel. Sampai pada jam yang terakhir,
mereka masih sekuat tenaga berusaha mencegah kaum pekerja untuk
memerangi kelompok-kelompok Mussolini. Ini tidak menghasilkan apapun
untuk mereka. Sang raja, bersama dengan lapisan atas borjuis, pindah ke
pihak fasisme. Setelah menyadari pada momen terakhir bahwa kubu fasisme
tak bisa dikontrol lagi, kubu Sosial Demokrat menyerukan kepada para
pekerja untuk mengadakan mogok umum. Tapi pengumuman mereka menemui
kegagalan. Kaum reformis sudah memlembabi bubuk mesiu ini terlalu lama
karena takut bubuk mesiu ini akan meledak. Ketika mereka dengan tangan
gemetar ingin membakar bubuk mesiu ini, bubuk tersebut tak mau
terbakar.
Dua tahun sesudah kemunculan pertamanya,
fasisme berkuasa penuh. Fasisme ini diuntungkan oleh fakta bahwa
periode pertama dari kekuasannya ditandai dengan sebuah kondisi ekonomi
yang positif, setelah masa depresi di tahun 1921-22. Kaum fasis
menghancurkan massa proletar yang sedang mundur dengan mengerahkan
massa borjuis kecil secara besar-besaran. Tapi hal tersebut tidaklah
dicapai dengan sekali pukul. Bahkan sesudah dia meraih kekuasaan,
Mussolini menjalankan pemerintahannya dengan hati-hati: karena belum
adanya model pemerintahan fasis di masa itu. Selama dua tahun pertama,
bahkan konstitusi tidak dirubah. Pemerintahan fasis mengambil bentuk
karakter sebuah koalisi. Di tengah-tengah periode tersebut,
kelompok-kelompok fasis sibuk bekerja dengan kayu pemukul, pisau, dan
pistol. Hanya dengan demikian pemerintah fasis terbentuk secara
perlahan-lahan, yang berarti pencekikan penuh bagi semua organisasi
massa independen.
Mussolini mencapai semua itu dengan
jalan membirokratiskan partai fasis. Setelah menggunakan kekuatan kaum
borjuis kecil, fasisme mencekik mereka dengan cekikan negara borjuis.
Mussolini tidak mungkin tidak melakukan hal tersebut, sebab kekecewaan
dari massa yang dia sudah persatukan telah menjelma menjadi bahaya
langsung yang paling besar didepannya. Berubah menjadi birokratis,
fasisme hampir-hampir menyamai bentuk kediktaturan polisi dan militer.
Fasisme tidak lagi memiliki dukungan sosial seperti sebelumnya. Bagian
utama dari fasisme – borjuis kecil — telah tereduksi. Hanya kemandegan
historis yang menyebabkan pemerintah fasis tetap mampu membuat kaum
proletar dalam keadaan yang terpecah-pecah dan menyedihkan...
Dalam
kasus Hitler, kaum sosial demokrasi Jerman secara politik tak mampu
menambahkan apapun: yang dilakukannya hanya mengulang secara menjemukan
apa yang telah dilakukan kaum reformis Italia dengan temperamen yang
lebih besar. Kaum reformis Italia menjabarkan fasisme sebagai sebuah
kegilaan paska perang; kaum reformis Jerman melihatnya sebagai bentuk
‘Versailles’ atau kegilaan akibat krisis. Dalam kedua kasus tersebut,
kaum reformis menutup mata mereka terhadap karakter organik fasisme
sebagai sebuah gerakan massa yang muncul dari kejatuhan yang dialami
kapitalisme.
[Catatan: Perjanjian Versailles,
dijatuhkan pada Jerman sesudah Perang Dunia Pertama; hal yang paling
dibenci darinya adalah ganti rugi tanpa batas waktu yang harus
diserahkan pada kubu Sekutu dalam bentuk ‘perbaikan’ bagi kerusakan dan
kehilangan akibat perang. "Krisis" yang dimaksud pada paragraf di atas
adalah depresi ekonomi yang menyapu dunia kapitalis setelah kolapsnya
Wall Street di tahun 1929.]
Takut terhadap
mobilisasi pekerja revolusioner, kaum reformis Italia menggantungkan
semua harapannya pada ‘negara’. Slogan mereka adalah, ‘Tolong! Victor
Emmanuel, tekanlah mereka!’ Kaum Sosial Demokrasi Jerman tidak memiliki
sokongan demokratik seperti halnya sebuah monarki yang setia pada
konstitusi. Mereka harus puas dengan seorang presiden – ‘Tolong!
Hindenburg, tekanlah mereka!’
[Catatan: Marshal Paul
von Hindenburg (1847-1934), jendral kaum Junker yang meraih ketenaran
pada perang dunia pertama dan tak lama berselang menjadi presiden
republik Weimar. Di tahun 1932, kaum sosial demokrat mendukungnya dalam
pemilu ulang sebagai ‘yang tidak lebih jahat’ dibandingkan dengan Nazi.
Hindenburgh menunjuk Hitler sebagai kanselir di bulan Januari 1933.]
Saat
berperang melawan Mussolini, atau dalam kata lain saat mundur dari
hadapan Mussolini, Turati mengangkat mottonya yang spektakular,
"seseorang harus memiliki kedewasaan untuk menjadi seorang pengecut."
[Filippo Turati (1857-1937), teoritikus reformis terkenal Partai
Sosialis Italia.] Kaum reformis Jerman lebih sedikit serius dengan
slogan-slogan mereka. Mereka menuntut "Keberanian dalam
ketidakpopuleran" (Mut zur Unpopularitaet) – yang artinya sama saja.
Seseorang harus berani melawan ketidakpopuleran yang disebabkan oleh
kepengecutannya sendiri yang cuma menunggu kesempatan baik dari musuh.
Penyebab-penyebab
yang sama akan menghasilkan efek-efek yang sama pula. Bila deretan
peristiwa-peristiwa bertumpu pada kepemimpinan partai Sosial Demokrasi,
karir Hitler bisa dipastikan menjadi lancar.
Namun kita harus mengakui bahwa Partai Komunis Jerman juga belajar sedikit dari pengalaman Italia.
Partai
Komunis Italia terbentuk pada waktu yang hampir bersamaan dengan
fasisme. Tetapi, kondisi-kondisi kemandegan revolusioner yang sama,
yaitu yang membawa kaum fasis pada kekuasaan, terbukti menghambat
perkembangan partai Komunis. Mereka tidak mengerti sepenuhnya akan
bahaya fasisme; mereka menidurkan diri mereka sendiri dengan
ilusi-ilusi revolusioner; mereka menentang secara kuat kebijakan front
persatuan; singkatnya, mereka menderita penyakit kekanak-kanakan.
Tidaklah mengejutkan! Umurnya hanyalah dua tahun. Dalam pandangan
matanya, fasisme muncul hanya sebagai ‘reaksi kapitalis’. Partai
Komunis Italia tidak bisa mengerti karakter-karakter khusus fasisme
yang berasal dari mobilisasi borjuis kecil melawan massa proletar.
Kecuali Gramsci, kawan-kawan Italia menginformasikan pada saya bahwa
Partai Komunis bahkan tidak memperhitungkan adanya
kemungkinan-kemungkinan perebutan kekuasaan oleh kaum fasis. Setelah
revolusi proletar telah menderita kekalahan, setelah kapitalisme telah
merebut posisinya dan kubu kontra revolusioner berkuasa, mana mungkin
terdapat jenis kebangkitan kontra revolusioner yang lain? Bagaimana
bisa kaum borjuis melawan dirinya sendiri! Inilah inti dari orientasi
politik Partai Komunis Italia. Akan tetapi, seseorang haruslah melihat
kenyataan bahwa fasisme Italia merupakan sebuah fenomena baru, yang
sedang dalam proses pembentukan; adalah sulit, bahkan bagi sebuah
partai yang lebih berpengalaman, untuk memahami karakter khusus
fasisme.
[Catatan: Antonio Gramsci (1891-1937):
seorang pendiri Partai Komunis Italia, dipenjarakan oleh Mussolini pada
tahun 1926, meninggal dalam tahanan sebelas tahun kemudian. Dia
mengirimkan surat dari dalam penjara, atas nama komite politik Partai
Komunis Italia, memprotes kampanye Stalin melawan kubu Oposisi Kiri.
Taglatti, sebagai wakil dari Italia di Komintern di Moscow saat itu,
mensensor surat tersebut. Sepanjang era Stalin, memori tentang Gramsci
dihapuskan secara sengaja. Dalam periode de-Stalinisasi, dia ‘ditemukan
kembali’ oleh Partai Komunis Italia dan secara formal dinobatkan
sebagai pahlawan dan martir. Sejak itu, banyak sekali pengakuan
internasional terhadap tulisan-tulisan teoritikalnya, terutama catatan
Gramsci dalam penjara.]
Kepemimpinan Partai Komunis
Jerman sekarang mengulangi hampir secara harfiah posisi-posisi yang
diambil oleh Partai Komunis Italia; fasisme tidak lain adalah reaksi
kapitalis; dari sudut pandang kaum proletar, perbedaan antara tipe-tipe
dari reaksi kapitalis adalah tidak penting sama sekali. Radikalisme
vulgar seperti ini kurang bisa dimaafkan mengingat partai Komunis
Jerman adalah lebih tua dibandingkan Partai Komunis Italia pada saat
itu; dan juga, Marxisme saat ini telah diperkaya oleh pengalaman tragis
di Italia. Menekankan bahwa fasisme sudah ada di sini atau menolak
kemungkinan mereka merebut kekuasaan, secara politis berujung ke hal
yang sama. Dengan mengabaikan sifat spesifik dari fasisme, kemauan
untuk melawan fasisme akan menjadi lumpuh.
Pihak yang
harus memikul tanggung jawab dari semua ini, tentu saja, adalah
kepemimpinan Komintern. Dari semua orang, kaum komunis Italia
seharusnya wajib untuk memperingatkan kaum Komunis Jerman. Tapi Stalin,
bersama dengan Manuilsky, memaksa mereka untuk menyangkal pelajaran
terpenting dari kehancuran mereka sendiri.
[Catatan:
Dmitri Manuilsky (1883-1952): mengepalai Komintern dari 1929 sampai
1934; pemecatannya menandai perubahan dari ultra-kiri ke oportunisme
periode Front Popular. Belakangan muncul di panggung diplomatik,
sebagai delegasi untuk PBB.]
Kita juga telah
mengamati dengan kecepatan seperti apa Ercoli melompat ke posisi sosial
fasisme — dalam kata lain, ke posisi pasif menunggu kemenangan fasis di
Jerman.
[Catatan: Ercoli. Nama pena komintern untuk
Palmiro Togliatti (1893-1964). Mengepalai Partai Komunis Italia setelah
pemenjaraan Gramsci. Dia mempertahankan semua garis zigzag komintern,
tetapi setelah kematian Stalin dia mengkritisi pemerintahan Stalin
bersama dengan karakter-karakternya yang masih berlanjut di Uni Soviet
dan gerakan komunis internasional.]
Bahaya Fasis Muncul di Jerman
Diambil dari “Perubahan dalam Komunis Internasional dan Situasi di Jerman”, 1930.
Pemberitaan
resmi Komintern menggambarkan hasil dari pemilu di Jerman (September
1930) sebagai sebuah kemenangan besar bagi Komunisme, yang semakin
menggelorakan slogan Soviet Jerman. Kaum optimis birokratis tidak ingin
bercermin pada pengertian dari dinamika kekuatan yang terlihat dari
statistik pemilu. Mereka melihat naiknya jumlah pemilih Komunis secara
terpisah dari tugas-tugas revolusioner yang diciptakan oleh situasi
tersebut dan halangan-halangan yang muncul. Partai Komunis menerima
sekitar 4,600,000 suara dibandingkan dengan 3,300,000 pada tahun 1928.
Dari sudut pandang mekanisme parlementer ‘normal’, peraihan 1,300,000
suara adalah signifikan, bahkan jika kita memperhitungkan naiknya
jumlah total pemilih. Tapi prestasi partai ini akan memudar jika kita
memperhatikan kenaikan fasisme dari 800,000 menjadi 6,400,000 suara.
Hal yang tak kurang penting untuk dievaluasi adalah kenyataan bahwa
kubu Sosial Demokrasi, lepas dari kekalahan-kekalahan substansial
mereka, tetap mampu mempertahankan kader-kader utama mereka dan masih
menerima suara dari buruh yang lebih besar [8,600,000] dibandingkan
dengan partai Komunis.
Sementara itu, jika kita harus
bertanya pada diri kita sendiri, ‘kombinasi keadaan internasional dan
domestik apa yang mampu membelokkan kelas pekerja ke Komunisme dengan
kecepatan yang lebih hebat?’ kita tidak dapat menemukan keadaan yang
lebih tepat selain situasi di Jerman dewasa ini: Young's Noose, krisis
ekonomi, disintegrasi pemerintahan, krisis parlementarianisme,
terbongkarnya kebangkrutan Sosial Demokrasi yang sekarang berkuasa.
Melihat keadaan historis yang konkrit ini, daya tarik dari Partai
Komunis Jerman dalam kehidupan sosial bangsa, walaupun meraih 1,300,000
suara, tetap kecil secara proporsional.
[Catatan:
‘Young's Noose ’: sebuah referensi pada “Young Plan”. Owen D. Young,
seorang pelaku bisnis kenamaan dari Amerika, yang merupakan
Agent-General bagi perbaikan Jerman selama 1920-an. Dimusim panas 1929,
dia menjadi ketua dari sebuah konferensi yang mengadopsi rencananya
untuk menggantikan Dawes Plan yang tidak sukses demi ‘memfasilitasi’
pembayaran Jerman terhadap perbaikan-perbaikan seperti yang tercantum
dalam perjanjian Versailles.]
Kelemahan dari
posisi Komunisme, yang tanpa bisa dipungkiri bersumber pada kebijakan
dan rezim Komintern, akan terlihat lebih jelas jika kita membandingkan
pengaruh sosial Partai Komunis dengan tugas-tugas konkrit yang tidak
bisa ditunda lagi yang telah dibebankan padanya oleh kondisi historis
sekarang ini.
Adalah benar bahwa Partai Komunis sendiri
tak mengharapkan pencapaian semacam itu. Ini membuktikan bahwa di bawah
hempasan kesalahan dan kekalahan, kepemimpinan partai-partai Komunis
menjadi tidak biasa dengan tujuan-tujuan dan pemikiran-pemikiran besar.
Kalau kemarin mereka meremehkan kesempatan-kesempatan yang mereka
punyai, kali ini mereka sekali lagi meremehkan kesulitan-kesulitan yang
mereka hadapi. Akibatnya, satu bahaya menjadi semakin berlipatganda.
Padahal, karakter pertama dari partai yang benar-benar revolusioner adalah mampu untuk melihat realitas yang ada di depannya.
***
Dalam
rangka menggiring krisis sosial ke revolusi proletar, adalah penting
bahwa, disamping kondisi lainnya, pergeseran yang menentukan dari kaum
borjuis kecil terjadi ke arah proletar. Ini akan memberikan kesempatan
bagi proletar untuk menempatkan dirinya pada garda depan bangsa sebagai
pemimpin.
Pemilu yang terakhir memperlihatkan sebuah
pergeseran ke arah yang berbeda - disinilah terdapat signifikansi utama
dari gejala-gejala fasisme. Di bawah hantaman krisis, kaum borjuis
kecil berbelok, tidak ke arah revolusi proletar, tapi ke arah reaksi
imperialis yang paling ekstrem, yang juga menarik dibelakangnya
sebagian massa proletar yang cukup besar.
Pertumbuhan
besar dari Sosialisme Nasional adalah sebuah ekspresi dari dua faktor:
krisis sosial yang mendalam, yang megoyangkan stabilitas massa borjuis
kecil, dan tidak adanya partai revolusioner yang dianggap oleh massa
rakyat sebagai pemimpin revolusioner yang bisa diterima oleh mereka.
Jika partai Komunis adalah partai pengharapan revolusioner, maka fasisme, sebagai sebuah sebuah gerakan massa, adalah partai keputus-asaan kontra-revolusioner.
Saat pengharapan revolusioner merengkuh seluruh massa proletar,
bagian-bagian borjuis kecil yang tumbuh dan dalam jumlah yang patut
diperhitungkan akan terseret ke arah jalan revolusi. Dalam lingkup ini,
hasil pemilu ini secara jelas memperlihatkan gambaran yang berlawanan:
keputus-asaan kontra-revosioner merangkul borjuis kecil dengan kekuatan
yang sangat besar sehingga ia juga menarik banyak massa proletariat ...
Fasisme di Jerman benar-benar telah menjadi ancaman yang nyata;
sebagai ekspresi akut dari posisi rezim borjuis yang tak tertolong
lagi, peranan konservatif dari Sosial Demokrasi dalam rezim ini, dan
ketidakberdayaan partai Komunis untuk mengenyahkannya. Siapapun yang
menolak fakta ini adalah buta atau pembual belaka....
Bahaya tersebut menjadi semakin akut dalam hubungannya dengan tempo perkembangannya,
yang tidak bergantung pada kita semata. Karakter mendadak dari kurva
politik seperti yang terlihat dari hasil pemilu menunjukkan fakta bahwa
tempo perkembangan krisis nasional dapat berubah dengan sangat cepat.
Dengan kata lain, rentetan-rentetan kejadian penting dapat hadir
kembali di Jerman esok hari, di dalam jalan historis yang baru;
kontradiksi usang antara kematangan situasi revolusioner, pada satu
pihak, dan kelemahan serta impotensi partai revolusioner, pada lain
pihak. Ini harus dibeberkan secara jelas, terbuka dan, terutama, tepat
pada waktunya.
***
Dapatkah kekuatan
perlawanan konservatif buruh Sosial Demokrat diprediksi sebelumnya?
Tidak bisa. Berdasarkan kejadian-kejadian tahun lalu, kekuatan ini
terlihat sangat besar. Tetapi sebenarnya, faktor yang paling membantu
penggelembungan Sosial Demokrasi adalah kebijakan Partai Komunis yang
salah, yang menemukan generalisasi tertingginya dalam teori sosial
fasisme yang tidak masuk akal. Untuk mengukur perlawanan nyata dari
anggota-anggota sosial demokrat, dibutuhkan instrumen pengukur yang
berbeda, yaitu, taktik Komunis yang tepat. Lewat cara ini – dan ini
bukanlah hal yang remeh – tingkatan persatuan internal dari Sosial
Demokrasi dapat diukur dalam sebuah periode yang terhitung singkat.
Dalam
bentuk yang berbeda, apa yang baru dijelaskan di atas dapat
diaplikasikan pada fasisme: fasisme bersumber, terlepas dari
kondisi-kondisi lain yang hadir, dari kekacauan strategi
Zinoviev-Stalin. Di manakah letak kekuatan serangannya? Dimanakah letak
stabilitasnya? Sudahkah dia mencapai titik kulminasi, sebagaimana yang
kaum ex-officio optimis [Komintern dan pejabat-pejabat Partai Komunis]
katakan kepada kita, atau apakah ini barulah langkah pertama dari
jenjang yang ada? Hal-hal tersebut tidak bisa diprediksi secara
mekanis. Mereka hanya bisa ditentukan lewat aksi. Khususnya dalam hal
fasisme, yang merupakan pisau di tangan kelas musuh, kebijakan yang
salah dari Komintern dapat menghasilkan hasil-hasil fatal dalam waktu
singkat. Di lain pihak, kebijakan yang benar – meski tidak dalam
periode sesingkat itu - bisa melumpuhkan posisi fasisme....
[CATATAN:
"Strategi Zinoviev-Stalin": Gregory Y. Zinoviev (1883-1936), ketua
Komintern mulai dari pembentukannya di tahun 1919 sampai pemecatannya
oleh Stalin pada tahun 1926. Setelah kematian Lenin, Zinoviev dan
Kamenev membentuk sebuah blok dengan Stalin (Troika) untuk melawan
Trotsky dan mendominasi partai Soviet. Pada masa dominasi
Zinoviev-Stalin dalam Komintern, garis oportunis menggiring gerakan
pada kekalahan demi kekalahan dan pelewatan kesempatan-kesempatan yang
berharga, terutama penundaan revolusi Jerman pada 1923. Setelah pecah
dengan Stalin, Zinoviev menyatukan pengikutnya dengan Oposisi Kiri
Trotskyist. Tetapi pada tahun 1928, setelah pemecatannya dari partai
Oposisi Persatuan, Zinoviev kembali ke Stalin. Setelah diterima kembali
oleh partai, dia ditendang keluar lagi di tahun 1932. Setelah
mengingkari semua pandangan-pandangan kritisnya, dia diterima lagi,
tapi di tahun 1934, dia dikeluarkan dan dipenjara. Dia "mengaku" dalam
Pengadilan Moscow pada tahun 1936 dan dieksekusi.]
Jika
partai Komunis, walaupun di dalam keadaan yang menguntungkan, terbukti
tak berdaya mengguncang struktur kubu Sosial Demokrasi dengan bantuan
formula sosial fasisme, maka fasisme yang riil sekarang mengancam
struktur tersebut, tak lagi dengan formula muluk-muluk yang disebut
radikalisme, tetapi dengan formula kimia yang menghasilkan
ledakan-ledakan. Tak peduli seberapa benar bahwa Sosial Demokrasi
melalui kebijakannya secara keseluruhan mengkondisikan mekarnya
fasisme, tetapi juga benar kenyataaan bahwa fasisme datang sebagai
ancaman mematikan terutama bagi kubu Sosial Demokrasi, yaitu
mereka-mereka yang kebesarannya ditopang oleh bentuk-bentuk
pasifis-demokratik-parlementer dan metode-metode pemerintah...
Kebijakan
front persatuan para buruh untuk melawan fasisme mengalir dari situasi
ini. Ini membuka kesempatan yang luar biasa bagi Partai Komunis. Tapi
kondisi untuk kemenangan harus diwujudkan dalam bentuk penolakan
terhadap teori dan praktek dari sosial fasisme, yang kesalahannya
menjadi tanda positif dalam keadaan saat ini.
Krisis
sosial secara tidak terelakkan akan menghasilkan perpecahan-perpecahan
yang mendalam di dalam kubu Sosial Demokrasi. Radikalisasi dari massa
akan mempengaruhi kubu Sosial Demokrat. Kita harus membikin persetujuan
dengan berbagai organisasi-organisasi Sosial Demokratik dan faksi-faksi
yang melawan fasisme, dengan menaruh prasyarat-prasyarat yang jelas
atas hubungan ini kepada para pemimpin sosial demokrasi, di depan mata
massa.... Kita harus segera meninggalkan segala omong kosong ofisial
tentang front persatuan dan mulai melihat kembali kebijakan front
persatuan seperti yang diformulasikan oleh Lenin dan selalu diterapkan
oleh Bolshevik di tahun 1917.
Dongeng Asoep
Diambil dari "Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman", 1932.
Seorang
penjual ternak suatu waktu menggiring beberapa kerbau ke penyembelihan.
Dan sang penyembelih datang pada malam hari dengan pisau tajamnya.
‘Mari kita merapatkan barisan dan kita tanduk si penyembelih,’ saran salah satu dari kerbau-kerbau tersebut.
‘Jika
anda tak keberatan, tolong katakan dalam hal apa si penyembelih lebih
buruk dari si penjual ternak yang telah menggiring kita kemari dengan
tongkatnya?’ balas kerbau-kerbau lain, yang telah menerima pendidikan
politiknya dari institut Manuilsky. [Maksud Trotsky disini adalah
Komintern.]
‘Tapi, kita juga mampu untuk membereskan si penjualnya juga sesudahnya!’
‘Tak
ada yang perlu dikerjakan,’ balas kerbau-kerbau itu lagi secara tegas
kepada sang pengusul. "Kamu mencoba, dari kiri, untuk melindungi musuh
kita — kamu adalah si penyembelih-sosial itu sendiri."
Dan mereka menolak untuk merapatkan barisan.
Tentara dan Polisi Jerman
Diambil dari “Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman”, 1932.
Menghadapi
ancaman nyata, kaum Sosial Demokrasi menggantungkan harapannya bukan
pada ‘Front Besi’, melainkan pada polisi Prusia. Kenyataan bahwa banyak
polisi tersebut direkrut dari kalangan pekerja Sosial-Demokratik
tidaklah berarti sama sekali. Kesadaran ditentukan oleh lingkungan,
juga dalam kasus ini. Pekerja yang menjadi seorang polisi dalam sebuah
negara kapitalis, adalah seorang polisi borjuis, bukanlah seorang
pekerja. Dalam tahun-tahun terakhir, polisi-polisi ini memerangi lebih
banyak pekerja revolusioner dibandingkan pengikut-pengikut Nazi.
Pelatihan seperti itu meninggalkan efek-efek yang khas. Dan, di atas
segalanya: setiap polisi tahu bahwa meski pemerintah dapat berganti,
polisi akan tetap bertahan.
[Catatan: ‘Front Besi’:
sebuah blok yang terdiri dari beberapa serikat buruh yang besar dan
kelompok-kelompok borjuis 'republiken' yang memiliki sedikit prestise,
atau tidak sama sekali, di antara massa. Blok ini dibentuk oleh Sosial
Demokrat diakhir 1931. Kelompok-kelompok tempur yang disebut Tinju Besi
(Iron Fist) dibentuk dalam serikat-serikat buruh ini, dan organisasi
olahraga para pekerja digiring ke dalam Front Besi. Dalam parade dan
rally awal mereka, ribuan pekerja mengangkat tangannya, meneriakkan
‘kebebasan’, dan bersumpah untuk mempertahankan demokrasi. Massa dalam
partai Sosial Demokratik dan serikat-serikat buruh percaya bahwa
organisasi ini akan digunakan untuk menghentikan Hitler. Tetapi ini
tidak terjadi.]
Dalam isu tahun baru mereka, organ teoritis dari kubu Sosial Demokrasi,
Dar Freie Wort
(sungguh sebuah lembaran-lembaran terbitan yang buruk!) menerbitkan
sebuah artikel yang mengagung-agungkan kebijakan ‘toleransi’. Hitler
dilukiskan tak akan mampu menundukkan polisi dan Reichswehr [Tentara
Jerman]. Berdasarkan konstitusi, Reichswehr berada di bawah komando
presiden Republik Jerman. Karenanya, demikian mereka menyimpulkan,
fasisme tidaklah berbahaya sepanjang pemerintahan dipegang oleh
presiden yang taat pada konstitusi. Rezim Bruening harus didukung
sampai pemilihan presiden sehingga presiden yang konstitusional bisa
terpilih melalui sebuah aliansi dengan borjuis parlementer; dan maka
dari itu jalan Hitler ke kekuasaan akan tertutup untuk tujuh tahun ke
depan....
[Catatan: Heinrich Bruening adalah kanselir
dari tahun 1930-32. Pemerintahan parlementer reguler di Jerman berakhir
pada Maret 1930. Sesudahnya diikuti oleh beberapa rangkaian rezim
Bonapartist – yaitu Bruening, von Papen, von Schleicher,
kanselir-kanselir yang memerintah dengan tidak berdasarkan pada
prosedur parlementer biasa, tetapi dengan prosedur ‘darurat’.
Figur-figur Bonapartis ini menampilkan diri mereka sebagai penyelamat
politik yang dibutuhkan negara untuk melewati krisis, dan oleh
karenanya mereka berada di atas kelas dan partai. Mereka tidak
bergantung pada partai demokratis borjuis yang lama tetapi pada komando
mereka terhadap polisi, tentara, dan birokrasi pemerintahan.
Berpura-pura menyelamatkan negara dari bahaya dari kubu kiri (sosialis
dan komunis) dan kanan (fasis), mereka melepaskan pukulan terkeras
mereka pada pihak kiri, karena kepentingan utama mereka adalah
menyelamatkan kapitalisme.]
Politikus-politikus
reformis — para ahli kolusi yang bodoh, ahli intrik dan pemuja karir
yang lihai, konspirator kementerian dan parlementar yang hebat —
terlempar dari kekuasaan mereka secara cepat oleh rangkaian
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dihadapkan pada kontigensi mendesak,
mereka menampakkan diri mereka sebagai – tak ada ekspresi yang lebih
sopan selain ini – mayat-mayat yang inkompeten.
Bergantung
pada seorang presiden sama halnya dengan bergantung pada ‘pemerintah’!
Dihadapkan pada bentrokan yang akan muncul antara proletar dan borjuis
kecil fasis – dua kubu mayoritas di negara Jerman – kaum Marxis dari
Vorwaerts
[koran utama sosial demokratik] berteriak pada para penjaga malam untuk
memberikan bantuan pada mereka "Tolong! Pemerintah, tekanlah mereka!"
(Staat, greif zu!)
Borjuis, Borjuis Kecil, dan Proletariat
Diambil dari “Satu-Satunya Jalan Bagi Jerman”, ditulis pada September 1932, dipublikasikan di Amerika Serikat pada April 1933.
Semua
analisa serius terhadap situasi politik harus mengambil titik berangkat
dari hubungan mutual antara tiga kelas: borjuis, borjuis kecil
(termasuk para petani), dan proletar.
Borjuis yang kuat
secara ekonomi mewakili bagian kecil dari sebuah negara. Untuk
memperkuat dominasinya, mereka harus memastikan hubungan mutual yang
pasti dengan borjuis kecil dan dengan kelas proletariat melalui
perantaraan borjuis kecil.
Untuk memahami hubungan
dialektis antara tiga kelas tersebut, kita harus membedakan tiga
tahapan sejarah: pada saat awal perkembangan kapitalistik, ketika kaum
borjuis menggunakan metode-metode revolusioner untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya; pada periode pertumbuhan dan pendewasaan rezim
kapitalis, saat borjuis membentuk dominasinya dengan bentuk-bentuk yang
demokratis, konservatif, pasifis, dan stabil; dan akhirnya, pada
periode kemunduran kapitalisme, saat kaum borjuis dipaksa untuk
menggunakan metode-metode perang sipil dalam melawan proletar untuk
menjaga hak eksploitasinya.
Karakterisrik program politik
dari tiga tahapan ini – JACOBINISME [sayap kiri kekuatan borjuis kecil
pada revolusi Prancis; pada fase paling revolusionernya, dipimpin oleh
Robespierre], reformis DEMOKRASI (termasuk Sosial Demokrasi), dan
FASISME – adalah program-program mendasar dari tendensi borjuis kecil.
Fakta ini sendiri, diatas segalanya, memperlihatkan betapa maha
pentingnya — bukannya sekedar penting saja — penentuan-diri massa
borjuis kecil bagi keseluruhan nasib masyarakat borjuis.
Tapi,
hubungan antara borjuis dan dukungan sosialnya, yaitu borjuis kecil,
sama sekali tidak bersandarkan pada kepercayaan mutual dan kolaborasi
mutual. Berdasarkan karakter massanya, borjuis kecil adalah sebuah
kelas yang tersisihkan dan tereksploitasi. Mereka melihat kaum borjuis
dengan rasa iri dan sering juga dengan rasa benci. Kaum borjuis, pada
pihak lain, tidak mempercayai kaum borjuis kecil walaupun menggunakan
dukungan dari mereka, karena mereka sangat takut terhadap kecenderungan
kaum borjuis kecil untuk menghancurkan batasan-batasan yang dibentuknya
dari atas.
Saat mereka merencanakan dan melapangkan jalan
bagi perkembangan borjuis, dalam setiap langkah mereka kaum Jacobin
terlibat dalam pertentangan yang tajam dengan kaum borjuis. Mereka
melayani kaum borjuis di dalam perjuangan mereka yang keras dalam
melawan borjuis. Setelah mereka telah mencapai titik tertinggi dari
peran historis mereka yang terbatas, kaum Jacobins jatuh, karena
dominasi kapital adalah sesuatu yang sudah pasti.
Melewati
serangkaian tahapan, kaum borjuis kemudian membangun kekuasaannya dalam
bentuk demokrasi parlementer. Walaupun demikian, hal tersebut tidak
dilakukan secara damai dan sukarela. Kaum borjuis benar-benar takut
terhadap hak pilih universal. Tapi pada akhirnya, dengan bantuan
kombinasi antara kekerasan dan konsesi, antara penindasan dan perubahan
(reformasi), mereka berhasil mensubordinasi ke dalam kerangka kerja
demokrasi formal tidak hanya kaum borjuis kecil tapi juga kaum proletar
secara signifikan, melalui kelas borjuis kecil baru – yaitu kaum buruh
aristokrat. Pada bulan Agustus 1914, kaum borjuis imperialis mampu,
melalui cara demokrasi parlementer, memimpin jutaan pekerja dan petani
ke dalam perang.
[CATATAN: 4 Agustus 1914: kolapsnya
Internasional Kedua. Wakil-wakil Partai Sosial Demokratik Jerman di
Reichstag memvoting budget perang pemerintahan imperialis; pada hari
yang sama, wakil-wakil Partai Sosialis Prancis juga melakukan hal yang
sama dalam ‘Chamber of Deputies’.]
Tetapi dengan
adanya perang muncullah kemunduran yang besar dalam kapitalisme dan
terutama pada bentuk demokratis dari dominasinya. Tidak ada lagi
perubahan-perubahan dan revisi-revisi yang baru, tetapi yang ada adalah
pemotongan dan penghapusan perubahan-perubahan yang sudah ada. Dengan
ini, kubu borjuis bertentangan tidak hanya dengan institusi demokrasi
proletarian (organisasi-organisasi buruh dan partai-partai politik)
tetapi juga dengan demokrasi parlementer yang melahirkan
organisasi-organisasi buruh di dalam kerangkanya. Karena itu, kampanye
yang mereka lakukan adalah melawan ‘Marxisme’ pada satu pihak dan
melawan parlementarisme demokratis pada pihak yang lain.
Tapi
seperti halnya borjuis liberal yang pada zamannya tidak mampu dengan
kekuatan mereka sendiri menghancurkan feudalisme, monarki, dan gereja,
kaum kapital saat ini juga tak mampu dengan kekuatan mereka sendiri
berhadapan dengan proletar. Mereka butuh dukungan borjuis kecil. Untuk
tujuan ini, mereka harus dihela, dikuatkan, dimobilisasi, dan
dipersenjatai. Tetapi metode ini menyimpan bahaya-bahayanya sendiri.
Meskipun kaum borjuis menggunakan fasisme, mereka juga takut terhadap
fasisme. Pada bulan Mei 1926, Pilsudski dipaksa untuk menyelamatkan
masyarakat borjuis melalui kudeta yang diarahkan melawan partai-partai
tradisional borjuis Polandia. Masalah ini berkembang jauh. Pemimpin
partai Komunis Polandia, Warski, yang berasal dari kubu Rosa Luxemburg
dan kemudian menyeberang ke kubu Stalin dan bukannya Lenin, menganggap
kudeta Pilsudski sebagai jalan menuju "kediktatoran revolusioner
demokratik" dan menyerukan kepada para buruh untuk mendukung Pilsudski.
[CATATAN: Joseph Pilsudski (1876-1935): seorang
sosialis dengan pandangan-pandangan nasionalistik, pada tahun 1920, dia
memimpin kekuatan anti-Soviet di Polandia; di tahun 1926, dia memimpin
sebuah kudeta dan membangun sebuah kediktatoran fasis. Warski, teman
dari Rosa Luxemburg, dia mendukung Luxemburg di dalam perdebatannya
dengan kaum Bolshevik. Saat Komintern berzigzag ke kiri dalam fase
‘Periode Ketiga’-nya, Warski diturunkan dari kepemimpinan Partai
Komunis Polandia, tapi tidak dipecat. Dia menghilang dari Uni Soviet
pada masa pembersihan besar-besaran di tahun 1936-38. Rosa Luxemburg
(1870-1919): Teoritikus dan pemimpin besar revolusioner. Pada awalnya
aktif dalam gerakan sosialis di Polandia tempat asalnya, dia kemudian
menjadi pemimpin sayap kiri Partai Sosial Demokratik Jerman. Rosa dan
Karl Liebknecht dipenjara karena perlawanannya terhadap Perang Dunia I.
Sesudah mereka dibebaskan, mereka memimpin Spartakusbund. Keduanya
dipenjara dan dibunuh saat revolusi yang gagal pada tahun 1919.]
Pada
pertemuan Komisi Polandia dari Komite Eksekutif Komintern pada tanggal
2 Juli 1926, penulis artikel ini (maksudnya Leon Trotsky sendiri)
menyikapi kejadian-kejadian di Polandia itu:
“Dilihat
secara menyeluruh, kudeta kubu Pilsudski adalah cara-cara borjuis
kecil, cara-cara 'plebian', dalam mengatasi permasalahan mendesak
masyarakat borjuis yang sedang mengalami pembusukan dan kemunduran. Di
sini kita bisa melihat sebuah kemiripan langsung dengan fasisme Italia".
“Kedua bentuk fasisme ini memiliki ciri-ciri umum: mereka merekrut
laskar penggempurnya terutama dari kelas borjuis kecil; Pilsudski
seperti halnya Mussolini menggunakan metode-metode ekstra parlementer,
dengan kekerasan secara terbuka, dengan metode-metode perang sipil;
keduanya tidak mempunyai tujuan untuk menghancurkan masyarakat borjuis,
sebaliknya mereka bertujuan melanggengkan masyarakat borjuis. Walaupun
mereka memperkuat kubu borjuis kecil, mereka secara terbuka bergabung
dengan borjuis besar setelah perebutan kekuasaan. Secara tidak sengaja,
sebuah generalisasi sejarah muncul di sini, mengingatkan kita kembali
pada evaluasi yang diberikan Marx menyangkut Jacobinisme sebagai metode
plebian untuk menghancurkan musuh-musuh feodal kelas borjuis...Ini
terjadi pada
periode kebangkitan kelas borjuis. Saat ini kita harus mengatakan bahwa, pada
periode kemundurannya,
kelas borjuis sekali lagi menggunakan metode plebian dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya yang sudah tidak progresif lagi dan
sungguh-sungguh reaksioner. Dalam pengertian ini,
fasisme merupakan karikatur dari Jacobinisme."
“Kaum borjuis tak mampu mempertahankan kekuasaannya dengan cara dan
metode-metode negara parlementer yang diciptakannya sendiri; mereka
membutuhkan fasisme sebagai sebuah senjata pertahanan diri, setidaknya
dalam waktu-waktu kritis. Walaupun demikian, kaum borjuis tidak
menyukai metode 'plebian' dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka selalu
menentang Jacobinisme, yang telah membuka jalan bagi perkembangan
masyarkat borjuis dengan darahnya. Kaum fasis lebih dekat dengan kaum
borjuis yang mengalami kemunduran dibandingkan kaum Jacobin dengan kaum
borjuis yang sedang bangkit. Tetapi, kaum borjuis yang sadar tidak
terlalu mendukung metode fasis dalam menyelesaikan tugas-tugasnya
meskipun mereka melayani kepentingan masyarakat borjuis, sebab mereka
melihat bahaya dibaliknya. Karena itu terdapat oposisi dari
partai-partai borjuis terhadap fasisme."
“Kaum borjuis
menyukai fasisme seperti halnya seorang pria yang sakit gigi menyukai
giginya dicabut. Lingkaran-lingkaran masyarakat borjuis yang sadar
telah mendukung kerja sang dokter gigi Pilsudski dengan keraguan,
tetapi pada analisa terakhir mereka menerima kenyataan yang tidak
terelakkan ini, meski dengan ancaman-ancaman, dengan
negosiasi-negosiasi alot dan segala bentuk tawar-menawar. Maka, idola
kaum borjuis kecil di masa lalu itu berubah menjadi gendarme kapital
(catatan editor: gendarme adalah polisi di negara Prancis)."
Dalam
usaha membatasi ruang gerak historis dari fasisme sebagai penggusur
politik Sosial Demokrasi, dimunculkanlah teori sosial fasisme. Pada
awalnya teori ini muncul sebagai suatu kebodohan yang tidak berbahaya,
penuh dengan jargon dan kepura-puraan. Kejadian-kejadian selanjutnya
telah menunjukkan pengaruh destruktif teori Stalinis ini pada seluruh
perkembangan Komunis International.
Apakah karena peran
historis dari Jacobinisme, dari demokrasi, dan dari fasisme, maka kaum
borjuis kecil dikutuk untuk tetap menjadi sebuah alat ditangan kapital
sampai hari akhirnya? Jika hal tersebut benar adanya, maka kediktaturan
proletariat akan menjadi mustahil di negara-negara dimana kaum borjuis
kecil merupakan mayoritas dan, lebih dari itu, bahkan menjadi sangat
sulit di negara lainnya dimana kubu borjuis kecil mewakili minoritas
yang penting. Untungnya, hal itu tidak benar adanya. Pengalaman Komune
Paris [‘kediktaturan proletariat’ yang pertama, 18 Maret 1871] telah
menunjukkan, setidaknya di dalam batasan-batasan sebuah kota, seperti
halnya pengalaman Revolusi Oktober [Revolusi Rusia 1917] telah
menunjukkan sesudahnya dalam skala yang jauh lebih besar dan melewati
periode yang jauh lebih panjang, bahwa aliansi kaum borjuis kecil dan
borjuis besar tidaklah permanen. Karena borjuis kecil tidak mampu
menghasilkan sebuah kebijakan yang
independen (itu juga
alasan mengapa ‘kedikatatoran demokratis’ borjuis kecil tak mampu
terwujud), kelas ini tak memiliki pilihan lain yang tersisa baginya
selain memilih antara kaum borjuis dan proletar.
Di dalam
era kebangkitan, pertumbuhan, dan mekarnya kapitalisme, biasanya kaum
borjuis kecil secara patuh berada dalam kontrol kapitalis, walaupun
kadang-kadang terjadi ledakan-ledakan ketidakpuasan yang singkat.
Mereka tak mampu melakukan hal lainnya. Tetapi di bawah kondisi
disintegrasi kapitalisme dan kebuntuan situasi ekonomi, mereka
berjuang, mencari, dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari belenggu
tuan-tuan dan penguasa-penguasa masyarakat yang lama. Mereka cukup
mampu menghubungkan nasibnya dengan nasib kaum proletar. Untuk itu,
hanya satu hal yang dibutuhkan: kaum borjuis kecil harus memperoleh
kepercayaan pada kemampuan proletariat untuk memimpin masyarakat menuju
jalan yang baru. Dan kaum proletar hanya dapat menginspirasikan
kepercayaan ini melalui kekuatannya, melalui ketegasan tindakannya,
melalui ofensif yang hebat melawan musuhnya, melalui kesuksesan
kebijakan revolusionernya.
Tapi, terkutuklah jika partai
revolusioner tidak mampu mengukur ketinggian suatu situasi! Perjuangan
sehari-hari kaum proletar telah mempertajam ketidak-stabilan masyarakat
borjuis. Mogok-mogok kerja dan gangguan-gangguan politik telah
memperparah situasi ekonomi negara. Kaum borjuis kecil dapat menerima
secara sementara kesengsaraan yang semakin memburuk, jika melalui
pengalaman mereka muncul kepercayaan bahwa kaum proletar berada dalam
posisi untuk memimpin mereka ke jalan yang baru. Tapi jika partai
revolusioner, di dalam perjuangan kelas yang semakin menajam, selalu
tidak mampu menyatukan kelas pekerja untuk tujuan ini, bila ia tidak
bisa mengambil keputusan tegas, kebingungan, bertengkar sendiri, maka
kaum borjuis kecil kehilangan kesabaran dan mulai melihat pekerja
revolusioner sebagai mereka yang bertanggung jawab atas
kesengsaraannya. Semua partai-partai borjuis, termasuk kaum Sosial
Demokrasi, memusatkan pemikirannya untuk tujuan ini. Saat krisis sosial
mencapai keparahan yang luar biasa, sebuah partai tertentu muncul
dengan tujuan langsung mengagitasi kaum borjuis kecil dan mengarahkan
kebencian dan kekecewaannya untuk melawan kaum proletar. Di Jerman,
fungsi historis ini dilakukan oleh sosialisme nasional (Nazisme),
sebuah gerakan yang luas yang ideologinya terdiri dari asap busuk
masyarakat borjuis yang mengalami disintegrasi.
Runtuhnya Demokrasi Borjuis
Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934
Sesudah
perang, serangkaian revolusi-revolusi brilian penuh kemenangan hadir di
Rusia, Jerman, Austria-Hungaria, dan lalu di Spanyol. Tetapi hanya di
Rusialah kaum proletar merebut kekuasaan penuh di tangannya,
menghancurkan penghisapnya, dan tahu bagaimana menciptakan dan
mengelola negara buruh. Di semua tempat lainnya, kaum proletar,
walaupun mereka menang, berhenti separuh jalan karena kesalahan
kepemimpinan mereka. Akibatnya, kekuasaan lepas dari dari tangan
mereka, bergeser dari kiri ke kanan, dan jatuh sebagai korban fasisme.
Di negara-negara yang lain, kekuasaan jatuh ke tangan kediktaturan
militer. Tak ada satupun parlemen yang mampu mendamaikan kontradiksi
kelas dan menjanjikan kedamaian di dalam perkembangan
peristiwa-peristiwa. Konflik-konflik diselesaikan dengan jalan
kekerasan.
Dalam kurun waktu yang lama, masyarakat
Prancis berfikir bahwa fasisme tak mempunyai urusan apa-apa dengan
mereka. Mereka memiliki sebuah republik dimana semua permasalahan
diselesaikan oleh rakyat yang bebas melalui implementasi hak pilih
universal. Tetapi pada tanggal 6 Februari 1934, ribuan kaum fasis and
royalis, dipersenjatai dengan revolver, tongkat pemukul, dan pisau,
memaksakan sebuah pemerintahan reaksioner Doumergue, yang di bawah
perlindungannya kelompok-kelompok fasis terus tumbuh dan mempersenjatai
dirinya. Apakah yang akan terjadi di esok hari?
[Catatan:
Gaston Doumergue: perdana menteri Bonapartist Prancis. Menggantikan
Edouard Daladier. Pemerintahan Daladier jatuh sehari sesudah kerusuhan
fasis pada tanggal 6 Februari 1934.]
Tentu saja, di
Prancis, seperti juga di beberapa negara Eropa tertentu (Inggris,
Belgia, Belanda, Swiss, negara-negara Skandinavia), parlemen, pemilihan
umum, kemerdekaan demokratis, atau sisa-sisanya masih eksis. Tetapi di
semua negara ini, hukum historis yang sama akan berjalan, yaitu hukum
kemunduran kapitalisme. Jika alat-alat produksi tetap berada di tangan
sebagian kecil kapitalis, tak ada jalan keluar bagi masyarakat. Mereka
dikutuk masuk dari satu krisis ke krisis yang lain, dari kebutuhan ke
kesengsaraan, dari yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Di
berbagai negara, kehancuran dan disintegrasi kapitalisme terekspresi
dalam beragam bentuk dan tempo yang tidak sama. Tetapi ciri-ciri dasar
dari proses ini adalah sama di mana-mana. Kaum borjuis menggiring
masyarakat menuju kebangkrutan penuh. Mereka tak mampu lagi meyakinkan
masyarakat, baik tentang roti atau perdamaian. Inilah alasan kenapa
mereka tak bisa lagi mentolerir keadaan yang demokratis. Mereka dipaksa
untuk menghancurkan para pekerja dan petani dengan menggunakan
kekerasan fisik. Namun kekecewaan para pekerja dan petani tidak bisa
diselesaikan semata-mata oleh polisi saja. Terlebih lagi, membuat
tentara melawan rakyat adalah hal yang sangat sulit dan hampir
mustahil. Bila ini dilakukan, hal pertama yang terjadi adalah
disintegrasi di dalam tentara dan berakhir dengan tergiringnya sejumlah
besar tentara ke pihak rakyat.
Karena itulah, kaum
kapitalis finansial terpaksa membentuk kelompok-kelompok tempur khusus,
dilatih untuk memerangi para pekerja tak ubahnya anjing yang dilatih
untuk berburu. Fungsi historis fasisme adalah untuk menghancurkan kelas
buruh, menghancurkan organisasi-organisasinya, dan merampas kemerdekaan
politik ketika kaum kapitalis menyadari bahwa mereka tak mampu lagi
memimpin dan mendominasi dengan mesin demokrasi.
Kaum
fasis mendapatkan sumber daya manusianya dari kaum borjuis kecil. Kaum
borjuis kecil telah hancur luluh-lantak oleh kapitalis besar. Tak ada
jalan keluar bagi mereka di dalam kondisi sosial saat ini, mereka tidak
tahu jalan keluar lainnya. Kaum fasis membelokkan kekecewaan,
kemarahan, dan kesengsaraan kaum borjuis kecil dari kapital besar ke
para pekerja. Boleh dibilang bahwa fasisme adalah tindakan untuk
menjadikan kaum borjuis kecil sebagai alat yang digunakan oleh
musuhnya, yaitu kapitalis besar. Dengan cara ini, kaum pemilik modal
besar meruntuhkan kelas-kelas menengah dan kemudian, dengan bantuan
demagogi fasis bayaran, memprovokasi kaum borjuis kecil yang putus-asa
untuk melawan para pekerja. Rezim kaum borjuis dapat dipertahankan
hanya dengan metode-metode kejam seperti demikian. Untuk berapa lama?
Sampai mereka digusur oleh revolusi proletar.
Apakah Kaum Borjuis Kecil Takut Pada Revolusi ?
Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934
Kretin-kretin parlementer, yang menganggap dirinya sebagai ahli tentang masyarakat, seringkali berkata:
"Seseorang tidak boleh menakut-nakuti kelas menengah dengan revolusi. Mereka tidak suka ekstremitas".
Secara umum, penegasan di atas adalah salah sama sekali. Biasanya, pemilik usaha kecil memilih untuk
tenang-tenang saja selama bisnis berjalan baik dan dia masih berharap bahwa masa depan akan menjadi lebih baik.
Tetapi
ketika harapan ini hilang, dengan mudah dia akan marah dan siap untuk
mengambil tindakan-tindakan yang paling ekstrem sekalipun. Jika tidak,
bagaimana bisa mereka menjungkalkan negara demokratis dan membawa
fasisme pada kekuasaan di Italia dan Jerman? Kaum borjuis kecil yang
putus-asa melihat bahwa di dalam fasisme, yang terpenting dari
semuanya, ada sebuah kekuatan penghancur dalam melawan modal besar, dan
percaya bahwa, tak seperti partai-partai kelas pekerja yang hanya
melawan melalui kata-kata saja, fasisme akan menggunakan kekerasan
untuk membangun ‘keadilan’ yang lebih baik. Ditinjau dari kebiasaannya,
petani dan artisan bersifat realistis. Mereka memahami bahwa seseorang
tidak boleh melupakan penggunaan kekerasan.
Adalah salah,
sangat salah, untuk menyatakan bahwa kaum borjuis kecil tidak berpihak
pada partai-partai kelas pekerja karena mereka takut terhadap
‘tindakan-tindakan ekstrem’. Kenyataannya cukup bertolak belakang. Kaum
borjuis kecil yang di bawah, dengan massanya yang besar, hanya melihat
partai-partai kelas pekerja sebagai mesin-mesin parlementer. Kaum
borjuis kecil tidak mempercayai kekuatan kaum proletar, kapasitas
mereka untuk berjuang, dan juga kesiapan mereka pada saat ini untuk
membawa perjuangan sampai ke titik akhir.
Dan jika
keadaannya seperti itu, apakah berguna usaha-usaha untuk menggeser
wakil-wakil kapitalis demokratis dengan wakil-wakil partai kiri di
parlemen? Itulah yang dipikirkan dan dirasakan para tuan tanah kecil
yang kecewa, dihancurkan, dan setengah tereksploitasi. Tanpa sebuah
pemahaman akan psikologi para petani, artisan, para pekerja dan
fungsionaris rendahan, dan lain-lain – sebuah psikologi yang datang
dari krisis sosial – adalah tidak mungkin untuk membuat sebuah
kebijakan yang tepat. Kaum borjuis kecil secara ekonomis tidak dapat
berdiri sendiri dan secara politis terpecah-belah. Karena itulah mereka
tidak mampu menjalankan sebuah kebijakan yang independen. Mereka butuh
seorang ‘pemimpin’ yang memberikan mereka rasa percaya diri.
Kepemimpinan individual atau kolektif ini, contohnya dari seorang figur
yang terkenal atau sebuah partai, dapat ditawarkan kepada mereka oleh
salah satu kelas fundamental – kaum borjuis besar ataupun proletar.
Fasisme melepaskan dan mempersenjatai massa yang porak-poranda ini.
Dari massa yang banyak itu, mereka mengorganisasir kelompok-kelompok
tempur. Ini memberikan kaum borjuis kecil sebuah ilusi bahwa mereka
adalah kekuatan yang independen. Mereka mulai membayangkan bahwa mereka
benar-benar akan memerintah negara. Tidak mengherankan jika ilusi-ilusi
dan harapan-harapan tersebut mampu menarik perhatian kaum borjuis kecil!
Akan
tetapi, kaum borjuis kecil juga dapat menemukan seorang pemimpin dari
kubu proletar. Hal ini dibuktikan di Rusia dan kurang lebih di Spanyol.
Di Italia, Jerman, dan di Austria, kaum borjuis kecil sebenarnya
tergiring ke arah yang sama. Tapi partai-partai proletar lokal di
negara-negara tersebut tak mampu mengemban tugas sejarahnya.
Untuk
menggiring kaum borjuis kecil ke pihaknya, kaum proletar harus
memenangkan kepercayaan borjuis kecil. Dan untuk bisa melakukan hal
tersebut, proletar harus mempunyai kepercayaan pada kekuatannya sendiri
terlebih dahulu.
Mereka harus memiliki sebuah program
aksi yang jelas dan harus siap untuk merebut kekuasaan dengan semua
cara yang memungkinkan. Dipersiapkan oleh partai revolusioner untuk
perjuangan yang menentukan dan tak kenal ampun, kaum proletar harus
mengajak petani-petani dan borjuis kecil kota:
“Kami
berjuang untuk merebut kekuasaan. Inilah program-program kami. Kami
siap untuk mendiskusikan perubahan-perubahan dalam program kita. Kami
akan menggunakan kekerasan hanya untuk kaum borjuis besar dan
antek-anteknya, tetapi dengan anda sang pekerja keras, kami ingin
membangun suatu aliansi dengan berdasar pada dasar-dasar program yang
disetujui bersama”.
Kaum petani memahami bahasa seperti
itu. Hanya saja mereka harus memiliki kepercayaan pada kapasitas
proletariat untuk merebut kekuasaan.
Untuk itu diperlukan
tindakan untuk membersihkan front persatuan dari semua pendistorsian,
keragu-raguan, dan semua frase-frase kosong. Dibutuhkan juga pemahaman
terhadap situasi dan penempatan diri pada jalan revolusi.
Milisi Kelas Pekerja dan Musuh-Musuhnya
Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934
Untuk
berjuang, adalah perlu untuk menjaga dan memperkuat alat-alat
perjuangan – organisasi, pers, pertemuan, dan lain-lainnya. Fasisme [di
Prancis] mengancam semua itu secara langsung dan tiba-tiba. Mereka
masih terlalu lemah untuk melakukan perjuangan perebutan kekuasaan
secara langsung, tetapi mereka cukup kuat untuk merontokkan
organisasi-organisasi kelas pekerja sedikit demi sedikit, memperkuat
serangan-serangan mereka, dan untuk menyebarkan kekecewaan serta
ketidakpercayaan para pekerja pada kekuatan mereka sendiri..
Fasisme
mendapatkan pertolongan dari mereka-mereka yang tidak sadar yang
mengatakan bahwa "perjuangan fisik" adalah salah atau tak
berpengharapan, serta menuntut Doumergue untuk melucuti senjata milisi
fasisnya. Tak ada yang lebih berbahaya bagi kaum proletar, terutama
untuk situasi saat ini, selain racun berasa gula dalam bentuk
harapan-harapan yang palsu. Tak ada yang meningkatkan keangkuhan kaum
fasis begitu banyak seperti halnya ‘pasifisme lembek’ dari
organisasi-organisasi pekerja. Tak ada yang merusak kepercayaan
kelas-kelas menengah terhadap kelas pekerja selain keragu-raguan,
pasifitas dan tidak adanya keinginan untuk bertarung.
Le Populaire [Koran Partai Sosialis] dan terutama l'Humanite [Koran Partai Komunis] menulis setiap hari:
“Front persatuan adalah sebuah blokade dalam melawan fasisme...”;
“Front persatuan tidak akan membiarkan...”;
“Kaum fasis tidak akan berani”, dan sebagainya.
Kesemuanya
adalah omong kosong. Perlu ditegaskan kepada para pekerja, kaum
Sosialis, dan Komunis secara langsung: jangan biarkan dirimu
dinina-bobokan oleh omong kosong para jurnalis dan orator-orator yang
dangkal. Ini adalah masalah hidup dan mati kita dan masa depan
sosialisme. Kita bukannya mengingkari pentingnya front persatuan. Kami
sudah menuntut hal ini jauh-jauh hari ketika para pemimpin kedua partai
masih menolaknya. Front persatuan membuka banyak sekali kemungkinan,
tapi hanya sebatas itu. Front persatuan semacam itu, dalam dirinya
sendiri, tak akan menentukan apapun. Perjuangan massa-lah yang
menentukan. Front persatuan ini akan terlihat kegunaannya jika kelompok
komunis dan kelompok sosial demokrat saling membantu ketika kelompok
fasis menyerang
Le Populaire atau
l'Humanite. Tapi
untuk itu, kelompok-kelompok tempur proletar haruslah dibentuk dan
dididik, dilatih dan dipersenjatai. Tanpa adanya sebuah organisasi
pertahanan, seperti halnya milisi pekerja,
Le Populaire atau
l'Humanite
mungkin masih mampu menulis artikel sesuka mereka tentang kehebatan
front persatuan, namun kedua koran tersebut akan segera menemui diri
mereka sendiri tanpa pertahanan saat mereka menghadapi serangan pertama
kaum fasis yang dipersiapkan dengan baik.
Kami ingin
mempelajari dengan kritis ‘argumen-argumen’ dan ‘teori-teori’ dari
mereka-mereka yang menentang dibentuknya milisi pekerja; mereka ini
yang sangat banyak dan berpengaruh di dalam dua partai kelas pekerja.
Kita sering mendengar hal semacam ini: “Kita membutuhkan pertahanan-massa dan bukannya milisi”.
Tetapi
apakah yang dimaksud dengan ‘pertahanan-massa’ tanpa adanya
organisasi-organisasi tempur, tanpa kader-kader khusus, tanpa senjata?
Menyerahkan tanggung jawab pertahanan dalam melawan fasisme pada massa
yang tidak terorganisir dan tak dipersiapkan sama dengan memainkan
peran yang lebih rendah dari Pontius Pilatus. Menyangkal peran dari
milisi sama halnya dengan menafikkan peran kaum garda depan. Kalau
begitu, apa gunanya sebuah partai? Tanpa dukungan dari massa, milisi
tak akan berarti sama sekali. Tapi, tanpa kelompok-kelompok tempur yang
terorganisir, massa yang paling heroikpun akan diluluhlantakkan oleh
geng-geng fasis. Adalah omong kosong untuk mengkontradiksikan antara
milisi dengan pertahanan. Milisi adalah sebuah organ pertahanan.
“Untuk membentuk organisasi milisi,” tukas para penentang yang, tentu
saja, tidak serius dan jujur, “sama dengan melibatkan diri dalam
provokasi.”
Ini bukanlah sebuah argumen, tetapi sebuah
penghinaan. Jika kebutuhan akan pertahanan dalam organisasi-organisasi
pekerja datang dari situasi, bagaimana bisa seseorang tidak menyerukan
pembentukan sebuah milisi? Mungkin mereka bermaksud untuk mengatakan
bahwa pembentukan sebuah milisi ‘memprovokasi’ serangan dari kaum fasis
dan represi pemerintah. Kalau yang dimaksud demikian, ini merupakan
argumen yang benar-benar reaksioner. Liberalisme selalu mengatakan
kepada para pekerja bahwa dengan perjuangan kelasnya mereka
memprovokasi sebuah reaksi.
Kaum reformis kerap mengulang
tuduhan ini terhadap kaum Marxis, kaum Menshevik terhadap kaum
Bolshevik. Tuduhan semacam ini adalah berdasarkan suatu pemikiran jika
kaum tertindas tidak melawan, maka kaum penguasa tidak akan memukul
mereka. Ini adalah filosofi dari Tolstoy dan Gandhi, tapi bukanlah
filosofinya Marx dan Lenin. Jika
l'Humanite ingin membangun
doktrin "jangan melawan kejahatan dengan kekerasan", mereka seharusnya
tidak menggunakan palu dan arit atau emblem Revolusi Oktober sebagai
simbolnya, sebaiknya mereka menggunakan simbol kambing suci yang
menyediakan susu kepada Gandhi.
“Tetapi mempersenjatai para pekerja hanyalah cocok dalam sebuah situasi yang revolusioner, yang belum datang saat ini.”
Argumen
yang bijaksana ini sama saja dengan mempersilakan kaum pekerja untuk
dibantai sampai situasi menjadi revolusioner. Mereka yang kemarin
mengkhotbahkan tentang ‘periode ketiga’ tidak ingin melihat apa yang
sedang terjadi di depan mata mereka. Masalah tentang mempersenjatai
diri terdorong ke depan sebab situasi ‘demokratis’, ‘normal’ dan
‘damai’ telah memberikan jalan bagi situasi yang ‘tak stabil’,
‘kritis’, dan ‘kacau’ yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam
situasi yang revolusioner, bahkan juga kontra revolusioner.
[Catatan:
"Periode Ketiga": berdasarkan skema kaum Stalinis, periode ini adalah
‘periode terakhir kapitalisme’, periode kematiannya yang segera datang
dan penggeserannya oleh soviet. Periode ini dianggap penting oleh
komunis ultra-kiri dan taktik-taktik adventuris, khususnya konsep
sosial fasisme.]
Alternatif dari situasi ini
tergantung terutama pada: apakah pekerja yang berpandangan maju akan
membiarkan dirinya diserang tanpa ampun dan dikalahkan sedikit demi
sedikit atau membalas setiap pukulan dengan dua pukulan, meningkatkan
keberanian kaum tertindas dan menyatukan mereka dalam panji-panji
mereka. Sebuah situasi yang revolusioner tidaklah jatuh dari langit.
Situasi ini mengambil bentuknya melalui partisipasi aktif kelas
revolusioner dan partainya.
Sekarang kaum Stalinis Prancis
berargumen bahwa milisi buruh tidaklah melindungi kaum proletar Jerman
dari kekalahannya. Padahal baru kemarin mereka menyangkal kekalahan
mereka di Jerman dan menegaskan bahwa kebijakan kaum Stalinis Jerman
adalah benar dari awal sampai akhir. Sekarang mereka membebankan semua
kesalahan pada milisi pekerja Jerman (
Rote Front) [Front
Tempur Merah: milisi yang didominasi kaum Komunis yang dilarang oleh
pemerintahan Sosial Demokrasi setelah kerusuhan May Day Berlin, pada
tahun 1929]. Dari satu kesalahan, mereka terjatuh ke dalam sebuah
kesalahan lainnya yang berlawanan secara diametris, yang tak kalah
mengerikannya. Milisi, dalam dirinya sendiri, tidaklah menyelesaikan
permasalahan. Sebuah kebijakan yang tepat dibutuhkan. Sementara itu,
kebijakan Stalinisme di Jerman ("sosial fasisme adalah musuh utama"),
perpecahan dalam organisasi-organisasi buruh, percumbuan dengan
nasionalisme, putschisme, menyebabkan secara fatal terisolasinya garda
depan proletar dan keruntuhannya. Dengan strategi yang benar-benar
keliru, tak akan ada milisi yang bisa menyelamatkan situasi.
Omong
kosong jika, dalam dirinya sendiri, organisasi milisi akan terjerumus
dalam adventurisme, memprovokasi musuh, menggeser perjuangan politik
menjadi perjuangan fisik, dan lain sebagainya. Semua omongan ini tak
lebih dari sebuah kepengecutan politik belaka.
Barisan
milisi, sebagai organisasi garda depan yang kuat, terbukti merupakan
pertahanan yang paling pasti dalam melawan petualang-petualang politik,
melawan terorisme individu, melawan ledakan-ledakan spontan yang
berdarah.
Pada waktu yang sama, barisan milisi merupakan
satu-satunya cara yang serius untuk mencegah terjadinya perang sipil
yang dipaksakan oleh kubu fasis kepada kaum proletar. Biarkanlah para
pekerja, lepas dari tidak adanya sebuah ‘situasi revolusioner’,
meluruskan ‘patriot-patriot anak mama’ dengan cara mereka sendiri, dan
niscaya rekrutmen kelompok-kelompok fasis baru akan menjadi lebih
sulit.
Tapi para ahli strategi, dibingungkan dengan cara
pikirnya sendiri, menyangkal kami dengan argumen-argumen yang lebih
bodoh. Kami mengutipnya secara tekstual:
“Jika kita merespon tembakan revolver kaum fasis dengan tembakan revolver yang lain," tulis
L'Humanite
pada tanggal 23 Oktober [1934], “Kita melupakan fakta bahwa fasisme
adalah produk dari rezim kapitalis dan bahwa dalam perang melawan
fasisme kita menghadapi keseluruhan sistem."
Tak ada
kalimat-kalimat yang lebih membingungkan dan salah daripada
kalimat-kalimat di atas. Adalah tidak mungkin untuk membela diri atas
serangan kaum fasis sebab mereka adalah ‘sebuah produk dari rezim
kapitalis’. Ini berarti kita harus membatalkan semua perjuangan, karena
semua kejahatan sosial dewasa ini adalah ‘produk-produk dari sistem
kapitalisme’.
Ketika kaum fasis membunuh seorang
revolusioner, atau membakar habis gedung koran proletar, para pekerja
diharapkan untuk mengeluh secara filosofis: ‘Pembunuhan dan pembakaran
tersebut adalah produk-produk dari sistem kapitalis’, dan pulang dengan
hati yang tenang. Sikap fatalisme menggantikan teori militan Marx demi
keuntungan musuh kelas kita. Keruntuhan kaum borjuis kecil adalah,
tentu saja, produk dari sistem kapitalisme. Pertumbuhan
kelompok-kelompok fasis juga, sebagai konsekwensinya, adalah produk
dari kehancuran kaum borjuis kecil. Tapi di pihak lain, peningkatan
penderitaan dan perlawanan kaum proletar juga merupakan produk-produk
dari kapitalisme, dan milisi pekerja, pada gilirannya, adalah produk
dari makin tajamnya perjuangan kelas. Lalu kenapa, bagi kaum ‘Marxis’
l'Humanite,
kelompok-kelompok fasis adalah produk yang sah dari kapitalisme dan
milisi pekerja adalah produk yang tidak sah dari – kaum Trotskyis?
Sulit untuk memahami ujung atau pangkal dari pernyataan ini.
“Kita harus menghadapi seluruh sistem kapitalisme ” demikian kita sering diberitahu.
Bagaimana
caranya? Di awang-awang? Kaum fasis di negara-negara yang berbeda
memulainya dengan menggunakan revolver dan mengakhirinya dengan
menghancurkan seluruh 'sistem' organisasi-organisasi pekerja.
Bagaimanakah kita bisa menghadapi serangan bersenjata musuh jika tidak
dengan pertahanan bersenjata untuk, pada gilirannya, balas menyerang?
l'Humanite
sekarang mengakui pentingnya pertahanan di dalam tulisan-tulisan
mereka, tetapi hanya dalam bentuk ‘pertahanan diri massa’. Milisi
bersifat merugikan karena, seperti anda lihat, mereka memisahkan
kelompok tempur dari massa. Tetapi kenapa terdapat detasemen-detasemen
bersenjata independen diantara kaum fasis yang tidak terpisah dari
massa reaksionernya, yang sebaliknya meningkatkan keberanian dan
kepercayaan massa tersebut dengan serangan-serangan mereka yang
tersusun rapi? Atau mungkin massa pekerja lebih rendah kualitasnya
dalam pertempuran dibandingkan dengan kaum borjuis kecil?
Terjerat dalam kebingungan,
l'Humanite
akhirnya mulai ragu-ragu dengan pendapatnya sendiri: tampaknya
pertahanan diri massa membutuhkan pembentukan ‘kelompok pertahanan
diri’ khusus. Kelompok-kelompok dan detasemen-detasemen khusus diajukan
untuk menggantikan konsep milisi yang ditolak. Pada awalnya seolah-olah
perbedaan yang ada hanya menyangkut soal nama. Tak bisa disangkal, nama
yang diajukan oleh L'Humanite tidak berarti apapun. Seseorang bisa
mengajukan konsep ‘pertahanan diri massa’, tetapi tidak mungkin
mengajukan konsep ‘kelompok pertahanan diri’ sebab tujuan dari kelompok
tersebut bukanlah untuk membela dirinya sendiri tapi untuk membela
organisasi-organisasi pekerja. Tetapi, tentu saja ini bukan soal nama
belaka. “Kelompok pertahanan diri”, menurut
l'Humanite, harus
menolak penggunaan senjata demi menghindari jatuhnya mereka ke dalam
“putschisme”. Orang-orang bijaksana ini memperlakukan kelas pekerja tak
ubahnya seperti bayi yang harus dilarang memegang pisau di tangannya.
Selain itu, seperti kita ketahui bersama, pisau adalah monopoli dari
Camelots du Roi [kaum monarkis Prancis yang bergabung dengan koran Charles Maurras,
Action Francaise,
yang merupakan kubu anti demokratik dan seringkali menggunakan
kekerasan], yang merupakan ‘produk sah dari kapitalisme’ dan, dengan
bantuan pisau, telah menjungkalkan ‘sistem’ demokrasi. Lalu bagaimana
‘kelompok pertahanan diri’ ini dapat membela dirinya dalam melawan
revolvernya kaum fasis? “Secara ideologis,” tentu saja. Dengan kata
lain: mereka bisa bersembunyi. Tanpa memiliki apa yang mereka butuhkan
di tangan mereka, mereka harus mencari "pertahanan diri" di kaki
mereka. Dan sementara itu, kaum fasis menghancurkan
organisasi-organisasi pekerja tanpa perlawanan sama sekali. Tetapi jika
kaum proletar menderita kekalahan yang hebat, setidaknya mereka tidak
jatuh ke dalam ‘putschisme’. Para pembual ini, yang berlindung dibawah
panji-panji ‘Bolshevisme’, hanya menimbulkan kemuakan dan kebencian
saja.
Selama ‘periode ketiga’ yang indah – saat ahli-ahli strategi
l'Humanite
terserang halusinasi, ‘menguasai’ jalan-jalan setiap hari dan mengutuk
semua orang yang tidak bergabung dengan keekstravaganzaan mereka
sebagai kaum ‘sosial fasis’ – kami sudah memprediksikan: “Pada momen
dimana tuan-tuan ini terbakar ujung-ujung jarinya, mereka akan menjadi
kaum oportunis terburuk yang pernah ada.” Prediksi ini sekarang telah
digenapi sepenuhnya. Pada saat dimana persetujuan tentang pembentukan
milisi semakin tumbuh dan menguat di dalam gerakan partai Sosialis,
para pemimpin dari apa yang disebut sebagai partai Komunis ini lari ke
pipa air untuk mendinginkan keinginan pekerja maju untuk mengorganisir
dirinya dalam barisan-barisan tempur. Dapatkah seseorang membayangkan
perbuatan yang lebih celaka dan terkutuk dari tindakan ini?
Dalam
Partai Sosialis sesekali keberatan semacam ini juga terdengar dari
anggota-anggota partai: “Sebuah milisi memang harus dibentuk tapi tidak
ada gunanya untuk mengumumkan secara terbuka tentang hal ini.”
Seseorang
bisa menghargai kawan yang berharap untuk melindungi bagian praksis
masalah dari mata dan telinga yang tidak berkepentingan