Melahirkan Negara
Belajar dari Sovyet
Menjelang
akhir abad 20, dunia dikejutkan dengan perubahan peta politik yang
terjadi secara tiba-tiba, pada akhir 1991, negara Uni Soviet yang telah
berumur 74 tahun itu runtuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa negara
yang sekarang termasuk dalam persemakmuran Uni Soviet (Commonwealth of
Independent State/CIS). Bubarnya Uni Soviet ini menandai berakhirnya
Perang Dingin dengan kemenangan di pihak AS.
Uni Soviet merupakan federasi negara
-negara sosialis komunis yang dirintis berdirinya oleh Lenin dengan
kaum Bolsheviknya setelah dapat menggulingkan kekuasaaan Tsar Nicolas
II tahun 1917 melalui Revolusi Bolshevik. Tahun 1922 Lenin mengganti
Rusia menjadi Uni Soviet dengan Lenin sebagai pemimpinnya. Federasi ini
beranggotakan antara lain Rusia, Lithuania, Latvia, Belarusia, Ukraina,
Armenia, Georgia, dan Estonia. Mereka disatukan di bawah kekuasaan
Partai Komunis Uni Soviet.
Pada masa pasca-Perang Dunia II,
imperium-imperium Barat mengalami desintegrasi secara politis. Artinya,
kekuasaan mereka berakhir. Bekas jajahan Inggris, Prancis, dan Belanda
menjadi negara-negara merdeka seperti India, Indonesia, dan Vietnam.
Belum pernah dalam sejarah dunia ada demikian banyak negara “nasional”
seperti kini. Satu-satunya imperium yang sampai akhir 1980-an kelihatan
masih utuh adalah imperium Uni Soviet atau Rusia.
Bubarnya Uni Sovyet dinilai
sebagai runtuhnya ideologi komunisme, ketika sebuah ideologi tak bisa
menghidupi sementara tuntutan rakyat masih disekitar urusan ekonomi.
Kegagalan Uni Sovyet juga konon disebabkan oleh pemimpin terakhirnya,
Mikhail Gorbachev, yang memulai semangat liberasasi politik dan ekonomi
dengan tiga programnya yang terkenal, yakni program-programnya: glasnost (keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi), dan uskoreniye (percepatan pembangunan ekonomi).
Upaya-upaya
Gorbachev untuk merampingkan sistem komunis menawarkan harapan, namun
akhirnya terbukti tidak dapat dikendalikan dan mengakibatkan
serangkaian peristiwa yang akhirnya ditutup dengan pembubaran imperium
Soviet. Kebijakan-kebijakan yang mulanya dimaksudkan sebagai alat
untuk merangsang ekonomi Soviet, perestroika dan glasnost segera menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan.
Glasnost memberikan
kebebasan berbicara yang lebih besar. Pers menjadi jauh lebih merdeka,
dan ribuan tahanan politik dan banyak pembangkang di bebaskan.
Sementara tujuan utama Gorbachev dalam mengadakan glasnost adalah untuk
menekan kaum konservatif yang menentang kebijakan-kebijakan
restrukturisasi ekonominya, ia pun berharap melalui berbagai
keterbukaan, debat dan partisipasi, rakyat Soviet akan mendukung
inisiatif-inisiatif pembaruannya.
Pada Januari 1987, Gorbachev menyerukan
diadakannya demokratisasi: memperkenalkan unsur-unsur demokratis
seperti misalnya pemilu dengan banyak kandidat di dalam proses politik
Soviet. Pada Juni 1988, dalam Konferensi Partai ke-19 dari PKUS,
Gorbachev meluncurkan pembaruan-pembaruan radikal yang dimaksudkan
untuk mengurangi kontrol partai terhadap aparat-aparat pemerintahan.
Pada Desember 1988, Dewan Soviet Tertinggi Soviet menyetujui
dibentuknya suatu Kongres Deputi Rakyat yang sebelumnya telah
ditetapkan oleh amandemen konstitusi sebagai dewan legislative Uni
Soviet yang baru. Pemilihan umum untuk anggota kongres diadakan di
seluruh Uni Soviet pada Maret dan April 1989. Pada 15 Maret 1990
Gorbachev terpilih sebagai Presiden eksekutif pertama Uni Soviet.
Pengenduran sensor di bawah glasnost mengakibatkan Partai Komunis kehilangan genggamannya yang mutlak terhadap media. Tak lama kemudian, dan yang akibatnya mempermalukan pemerintah, media mulai menyingkapkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang parah yang telah lama disangkal dan ditutup-tutupi oleh pemerintah Soviet. Masalah-masalah seperti perumahan yang buruk, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, polusi, pabrik-pabrik yang sudah ketinggalan zaman dari masa Stalin, dan korupsi kecil-kecilan hingga yang besar-besaran, yang kesemuaya selama ini telah diabaikan oleh media resmi, mendapatkan perhatian yang semakin besar. Laporan-laporan media juga menyingkapkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Stalin dan rezim Soviet, seperti misalnya Gulag dan Pembersihan Besar yang diabaikan oleh media resmi. Lebih dari itu, perang di Afganistan yang berkelanjutan dan kekeliruan di dalam penanganan kecelakaan Chernobyl 1986 lebih jauh merusakkan kredibilitas pemerintahan Soviet pada masa ketika ketidakpuasan kian meningkat.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap
kondisi-kondisi ekonomi, yang menjadi lebih berani karena kebebasan
oleh glasnost, jauh lebih luas daripada yang sebelumnya pada masa
Soviet. Meskipun perestroika dianggap berani dalam konteks sejarah
Soviet, upaya-upaya Gorbachev untuk melakukan pembaruan ekonomi tidak
cukup radikal untuk memulai kembali ekonomi negara yang sangat lesu
pada akhir 1980-an. Upaya-upaya pembaruan mengalami berbagai terobosan
dalam desentralisasi, namun Gorbachev dan timnya sama sekali tidak
menyinggung unsur-unsur fundamental dari sistem Stalinis, termasuk
pengendalian harga, mata uang rubel yang tidak dapat dipertukarkan,
tidak diakuinya pemilikan pribadi, dan monopoli pemerintah atas
sebagian terbesar sarana produksi.
Pada 1990 pemerintah Soviet praktis
telah kehilangan seluruh kendali terhadap kondisi-kondisi ekonomi.
Pengeluaran pemerintah meningkat dengan tajam karena semakin
meningkatnya usaha-usaha yang tidak menguntungkan yang membutuhkan
dukungan negara sementara subsini harga konsumen juga berlanjut.
Perolehan pajak menurun karena perolehan dari penjualan vodka merosot
drastic karena kampanye anti alkohol dan karena pemerintahan republik
dan pemerintah-pemerintah setempat menahan perolehan pajak dari
pemerintah pusat di bawah semangat otonomi regional. Penghapusan
kontrol pemerintah pusat terhadap keputusan-keputusan produksi,
khususnya dalam sektor barang-barang konsumen, menyebabkan runtuhnya
hubungan pemasok-produsen sementara hubungan yang baru tidak terbentuk.
Jadi, bukannya merampingkan sistem, program desentralisasi Gorbachev
menyebabkan kemacean-kemacetan produksi yang baru.
Gorbachev menuduh Boris Yeltsin lawan
lamanya dan presiden Rusia pertama pada masa pasca-Soviet, telah
mencabik-cabik negara itu untuk mengutamakan kepentingan-kepentingan
pribadinya sendiri.
Pada 7 Februari 1990 Komite Sentral
Partai Komunis Uni Soviet setuju untuk melepaskan monopoli atas
kekuasaan. Republik-republik anggota Uni Soviet mulai menegaskan
kedaulatan nasional mereka terhadap Moskwa, dan mulai melancarkan
“perang undang-undang” dengan pemerintah pusat di Moskwa. Dalam hal
ini, pemerintahan republik-republik anggota Uni Soviet membatalkan
semua undang-undang negara kesatuan apabila undang-undang itu
bertentangan dengan undang-undang lokal, menegaskan kendali mereka
terhadap ekonomi lokal dan menolak membayar pajak kepada pemerintah
pusat di Moskwa. Pergumulan ini menyebabkan macetnya ekonomi, karena
garis pasokan dalam ekonomi rusak, dan menyebabkan ekonomi Soviet
semakin merosot.
Keruntuhan Uni Sovyet menandai
berakhirnya Perang Dingin. Setelah itu beberapa negara yang dulunya
komunis menjadi sekutu AS, seperti Hongaria, Polandia, dan Republik
Czech menjadi anggota NATO, dan yang menjadi sekutu terdekat AS dalam
“global war on terrorism” (GWOT), seperti Ukraina, Uzbekistan, dan
Kyrgystan.
Kini 20 tahun pasca berakhirnya
imperium Uni Sovyet, geliat negara-negara baru menunjukan
eksistensinya. Rusia mulai berbenah, Presiden Rusia Dmitry Medvedev
mengatakan masa depan negaranya terikat secara erat dengan Asia
sehingga mendorong gagasan tentang pemerintahan dunia multi-kutub
dengan didukung negara berkembang. Para analis mengatakan pengelompokan
negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang baru muncul tersebut dalam
BRICS merupakan sarana promosi guna mengimbangi kekuatan Barat dan
meningkatkan pengaruh global dari negara berkembang.
Lain hal dengan pendapat direktur Pusat
Studi Kaspia, yang lebih dikenal dengan ilmuwan politik Azeri, Vafa
Guluzade dalam sebuah wawancara dengan agen berita menunjukkan bahwa
Rusia sebagai sebuah imperium akan segera menghadapi keruntuhan.
“Runtuhnya Rusia akan terjadi dalam dua atau tiga minggu, atau dalam
beberapa tahun. Karena setelah runtuhnya Uni Soviet, Rusia tidak
mengalami perkembangan,” ujarnya.
“Setelah Putin berkuasa, bahkan Rusia
lebih terperosok ke dalam korupsi. Saat ini, tidak ada pembangunan di
Rusia, tidak ada reformasi militer. Sistem kesehatan dan pendidikan
runtuh, Rusia mengakuinya. Karena semua itu, saya tidak percaya akan
masa depan Rusia,” lanjutnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Setelah pemerintah otoriter Orde Baru
tumbang pada tahun 1998, krisis multisegi tengah dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Tampaknya sampai sekarang pun belum ada tanda-tanda bahwa
krisis ini akan segera berakhir. Ketidakpastian ekonomi, politik,
hukum, masih berlangsung hingga sekarang. Dampak dari krisis adalah
munculnya berbagai tindak kekerasan, disorganisasi, dan ancaman
disintegrasi bangsa. Apakah ancaman disintegrasi bagi bangsa Indonesia
ini juga diperkuat oleh peristiwa runtuhnya negara Adikuasa Uni Soviet
pada akhir Perang Dingin? Atau akankah revolusi akan terjadi di
Indonesia? Bagaimana kajian kemiripan-kemiripan historis yang
berlangsung di Rusia dan Uni Soviet bisa ditelaah untuk analisis bagi
Indonesia?
Pola-pola dan trend yang sama
sebenarnya juga tengah berlangsung di Indonesia, mirip ketika pola dan
trend itu terjadi di Rusia dan Uni Soviet. Sebelum Revolusi Rusia 1917
berlangsung, sistem pemerintahan yang diktator, otoriter, dan
menyengsarakan rakyat tengah berlangsung. Muncullah segala usaha dan
gerakan untuk melawan dan menumbangkan pemerintah. Berbagai kelompok
sosial muncul untuk melakukan koreksi dan kritik di bawah tekanan
pemerintah, namun lama-lama usaha demokratis mereka berhasil dan mampu
menelorkan perubahan politik berupa karya besar revolusi.
Bagi Indonesia, periode pemerintahan
Orde Baru di bawah Soeharto selama 32 tahun telah menyebabkan negara
ini menjadi bersifat totaliter, otoriter, dan menerapkan politik yang
regimentatif, sehingga berbagai kebijakan yang tidak demokratis
diterapkan kepada rakyat. Kebekuan suara demokratis juga berlangsung
selama ini.
Perubahan mulai terasa ketika muncul
kelompok-kelompok demokrat yang berusaha untuk melakukan kritik kepada
pemerintah. Akan tetapi mereka juga mengalami tindakan terror dan
berbagai kekerasan politik lain seperti penculikan, pembunuhan,
pemenjaraan yang tidak adil, dan sebagainya. Namun demikian,
kelompok-kelompok ini terus melakukan perjuangan dengan dukungan dari
para mahasiswa, intelektual, pers, LSM, dan kelompok-kelompok lain
untuk menumbangkan pemerintahan korup Orde Baru. Pada periode ini pola
dan trend sebagaimana terjadi di Rusia sebelum Revolusi dan masa
Pemerintahan Terror tampaknya juga berlangsung di Indonesia.
Apabila di Rusia menelorkan karya besar
sebuah Revolusi, maka di Indonesia menghasilkan karya monumental bukan
berupa revolusi tetapi berupa reformasi. Reformasi pada tahap seperti
sekarang ini sebenarnya belumlah bisa dikatakan sebagai revolusi,
karena perubahan-perubahan mendasar dan radikal terhadap seluruh sistem
tidak berlangsung. Reformasi yang sekarang terjadi hanyalah sebatas
menumbangkan pemimpin Orde Baru-nya saja. Ibaratnya, reformasi di
Indonesia baru memenggal kepala, tetapi seluruh tubuh pada dasarnya
masih merupakan produk lama.
Akankah situasi yang berkembang
sekarang ini akan menjadi sebuah revolusi? Apabila pola-pola yang sama
berlangsung, maka dimungkinkan akan terjadi revolusi. Namun yang lebih
tepat dalam analisis ini adalah kemungkinan munculnya pemerintahan yang
diktator, karena terjadi krisis yang berkepanjangan disertai dengan
anarki dimana-mana, sudah barang tentu akan memungkinkan munculnya
pemerintah diktator. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Hatta, bahwa
perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang
berakhir dengan anarki, telah membuka jalan untuk lawannya: diktator.
Kondisi Indonesia sekarang ini sungguh diambang anarki menyeluruh.
Selain itu ketidakpuasan dari beberapa
golongan di luar pemerintah yang sekarang semakin bersuara keras kepada
pemerintah juga akan berpengaruh terhadap terjadinya perubahan politik
menuju kemenangan golongan radikal. Bila golongan ini menang, maka
bukannya tidak mungkin golongan yang berkuasa ini akan memerintah
secara diktator dengan alasan untuk mengatasi segala krisis dan anarki
yang berlangsung ini. Sekarang sudah mula tampak bahwa muncul
koreksi-koreksi dari berbagai institusi non formal bahkan mengeluarkan
statement yang kritis yang kemudian disampaikan kepada lembaga DPR.
Meskipun belum sampai pada tahap menjadi sebuah kebijakan yang bisa
diaplikasikan kepada rakyat, akan tetapi pengaruhnya akan semakin
nyaring menuju ke suatu suasana munculnya lembaga-lembaga tandingan
yang bisa menjelma menjadi “pemerintah ekstra formal”, termasuk di
dalamnya tentunya “ekstra parlemen” yang sekarang bisa kita lihat
dengan marak.
Kerumitan-kerumitan akibat warisan rejim lama menjadi kelemahan golongan pemerintah sekarang. Apabila pemerintah sekarang tidak bisa mengatasi krisis ini, maka ia akan dicap sebagai tidak becus, penerus orde lama, dan bahkan telah menyuburkan apa yang selama ini diagendakan. Mereka dianggap telah berkhianat terhadap reformasi, seperti ketika di Rusia golongan Radikal mencap golongan konservatif sebagai pengkhianat revolusi.
Tentang kekhawatiran munculnya
disintegrasi bangsa saat ini, adalah sesuatu yang wajar. Pemerintah
tidak bisa hanya mengandalkan pada nilai-nilai yang dipropagandakan
regime lama dalam menggalang persatuan. Nilai-nila lama itu mengandung
paksaan bahwa orang harus bersatu dan seragam. Semantara keragaman
sosial budaya bangsa Indonesia menjadi fakta yang tidak bisa dielakkan.
Oleh karena itu, ada kesamaan pola tentang setting historis bangsa
Indonesia dengan bangsa Rusia, terutama tentang keragaman etnis yang
ada dan bahasa serta budaya yang beragam. Faktor kedua adalah bahwa
bila pemerintah sekarang melupakan beberapa unsur pendukung persatuan
negara, maka disintegrasi bisa terjadi. Bagi Uni Soviet, Gorbachev
telah meninggalkan dan melupakan peran komponen penting, yaitu: buruh,
militer, birokrat, dan intelijen negara. Nah, untuk Indonesia,
sebaiknya keempat komponen ini jangan ditinggalkan, apalagi disakiti.
Jadi apapun alasannya, mereka tetap penting bagi proses integrasi
bangsa dan nation building.
Pada mulanya Gorbachev berusaha untuk
menerapkan desentralisasi ekonomi kepada daerah, namun demikian karena
fundamental ekonomi Uni Soviet yang lemah, maka yang terjadi justru
ketidakpuasan dari negara-nagara bagian, sehingga mereka ingin
melepaskan diri. Sama halnya dengan Indonesia, sekarang ini fundamental
ekonomi Indonesia saat ini sangat tidak mendukung adanya penerapan
otonomi daerah. Banyak masalah yang harus dikerjakan dan diperbuat oleh
daerah maupun pusat untuk mengatur semuanya agar tidak terjadi
kesulitan pembagian keadilan.
Akan tetapi, sebenarnya disintegrasi
baru akan terjadi apabila telah melampau pemerintahan yang otoriter,
sentralistik sebagaimana telah berlangsung di Uni Soviet. Saat ini,
kalau di Indonesia berlangsung suatu pemerintahan yang diktator, maka
dalam waktu yang tidak lama akan muncul disintegrasi. Akankah demikian?
.. Melahirkan negara bukan hal yang mustahil, selama ibu pertiwi tidak
mandul dan sperma ideologis masih produktif maka negara akan bisa melahirkan negara
karena hakekat bernegara adalah untuk kemashalatan semua anak bangsa.
Bagaimana cara melahirkan negara? Mari kita berdiskusi lebih lanjut…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar